Tarra tahu dia nekat ketika memutuskan membuka kafe di rumah sakit tempat mantan tunangannya, Zidan, bekerja. Karena tampaknya lelaki itu masih belum puas menyakitinya.
Zidan tak akan menyerah tentang Tarra. Dia sudah memberi Tarra waktu cukup lama, seharusnya amarah gadis itu akan surut seiring waktu.
Adam seharusnya hanya mengamati Tarra dari kejauhan dan teguh pada komitmennya. Sayangnya, senyum Tarra yang selalu mampu menularkan kebahagiaan semakin jarang terlihat sejak Zidan kembali.
Ketika masing-masing memutuskan menunda dan menunggu, waktu malah seolah mempermainkan mereka. Perasaan tak diundang itu justru hadir, membuat mereka kembali mempertanyakan keputusan yang sudah diambil. Ketika mundur bukan pilihan, mampukah mereka tetap berjalan apa pun risikonya?