Mirip dua sisi mata uang, dibalik “happiness” sebuah perjalanan, ada hal-hal yang kurang tidak menyenangkan. 6 hal kehilangan yang saya rasakan dan sukses bikin kangen saat meninggalkan rumah.
1. Family Time
Wajar banget jika saya tulis ini di nomor urut satu. Terbiasa bepergian berempat [baca paksu + 2 anak], rasanya dunia hampa jika terpaksa solo travelling. Hallagh! Cara saya mengatasi rasa kangen pada mereka, saya kupas tuntas di sini.
2. Favorite Food
Dimulai dari hal yang paling mudah; makanan halal. Iyep, bener banget. Jangan bahas soal menu atau rasa karena jika sudah kepepet, dua hal tadi jadi less priority , siiist.
Ketidaktahuan kadang menyesatkan. Termasuk ketidakpahaman akan makanan daerah yang kita kunjungi. Padahal tak jarang kuliner adalah pemicu utama keinginan mengunjungi suatu tempat. Bagi saya yang seneng icip-icip kuliner lokal di tempat jajanan kaki lima, faktor ini jadi pe-er besar.
Nemu makanan halal ditengah rasa lapar yang mendera plus ketidakpahaman akan lokasi di mana kita berada saja sudah jadi stressor tersendiri yang harus di-manage. Tak jarang saya mengalami kejadian yang membayangkannya saja gak pernah!.
Mengabaikan etika plus malu sesudah memutuskan untuk hengkang di salah satu restoran Kota Hanoi saat lihat menu yang disajikan ternyata didominasi olahan “sapi kaki pendek” padahal sudah duduk manis dan ready to order, pernah saya lakukan.Baca juga Bangkok Street Food; Eat Like Local
Sempet emosi di Singapura karena dihela -tepatnya diusir- oleh seorang pria yang jika ditilik dari pakaiannya menandakan dia seorang koki. Padahal alasan saya melangkah masuk ke sana karena melihat seorang wanita muda berhijab [mungkin pelayannya?] sedang membereskan etalase tokonya yang berisi aneka menu layaknya yang banyak dijual di restoran Melayu.
Apakah si chef tadi bermaksud memberitahu bahwa makanan yang dijualnya tidak halal namun cara dia memberitahukannya dengan gesture yang tidak elegan? Wallahu alam.
Lain halnya pengalaman di Philipina.
Keliling bolak-balik di salah satu mall di Manila demi mencari makanan halal padahal jarum jam sudah menunjukkan pukul 9 malam waktu setempat pun dijabanin. Akhirnya menyerah pada ayam goreng Sang Kolonel janggut putih berkacamata jua. Baca basmallah.
Cuma bisa nonton aneka macam street food saat kluyuran malam di Myeong-Dong . Padahal semua penampakannya menggiurkan, sayangnya timbul perasaan ragu untuk mencoba. Bersandar pada ajaran yang mengatakan kalau ragu lebih baik tinggalkan, alih-alih jajan saya sibukkan diri memotret riuhnya penjaja kuliner kaki lima ala Negeri Ginseng. Itupun sambil nelan ludah berkali-kali 😂!!
Baca juga My Korean Food AdventureEtapi perjalanan di negeri sendiri pun bukan berarti tak pasang mata-telinga lho ya, khususnya saat berkunjung di daerah dengan penduduk minoritas muslim. Contohnya saat ke Bali. Berangkat dari rasa penasaran, saya sempat bertanya pada supir taksi bagaimana caranya membedakan rumah makan yang halal dengan non-halal.
Begini jawabnya; “Biasanya warung makan yang pakai tulisan Jawa Timur atau Malang itu bisa dimakan [maksudnya halal], Bu.”
“Tukang bakso gerobak yang ada Jawa Timurnya itu juga boleh. Kalau ngga ada tulisan Jawanya, jangan dibeli, Bu” imbuhnya lagi. Kenapa mesti Jawa Timur? Karena notabene banyak pendatang berasal dari daerah tersebut yang mencari nafkah di Pulau Dewata.
Singkatnya pasang radar baik-baik di mana pun kaki melangkah.
3. Suara Azan
Harus saya akui, acap kali mendengar azan berkumandang, yang terlintas adalah waktu kok cepet banget berlalu. Bagi muslim, suara azan adalah panggilan untuk salat lima waktu. Selain tanda tibanya salat lima waktu, buat saya, azan adalah penanda waktu yang ampuh. Tanpa melihat jam, saya bisa mengira-ngira waktu. Ngga mesti persis namun tak meleset jauh.
Lain cerita saat berada di daerah yang minim atau tak terpapar suara azan. Apalagi jika beda zona waktu pulak. Matahari masih kelihatan, anehnya mata sudah sepet dan berkali tak kuasa menguap kantuk. Pas lihat jam, lhoo, kok sudah malam. Pantes ngantuk 😮
Cerita tentang azan, saya pernah pergi ke daerah Indonesia bagian Timur. Rasanya baru tidur sebentar, ehh sudah terdengar azan. Melirik jendela kamar yang gordennya sengaja tak ditutup rapat, di luar masih menyisakan gelap. Cek penunjuk waktu di telepon genggam, tinggal beberapa menit menuju pukul 4 pagi! Saya lupa kalau di sini waktu Subuhnya lebih cepat hehehe.
Seringnya saat berada di tempat yang minim [atau gak ada mesjid], tak mendengar suara azan jadi satu kerinduan tersendiri.
Something is missing.
4. Tempat Beribadah
Kehilangan lain yang saya rasakan saat traveling bisa dibilang terkait #3 . Kalau dengar azan dipastikan dikumandangkan dari tempat ibadahnya. Dan berburu tempat ibadah pun sama serunya dengan mencari makanan halal. Maka bisa dipahami jika ada lokasi yang bisa menyatukan dua hal tersebut menjadi sasaran destinasi wisatawan muslim.
Limitasi akses pada tempat beribadah mendorong saya untuk mempelajari tata-cara ibadah sebagai pejalan berdasarkan keyakinan yang saya anut. Minimal jadi paham dan praktek langsung bagaimana tayamum dan salat di atas kendaraan yang sedan melaju.
Pengalaman yang tak terlupakan adalah saat melaksanan salat subuh di atas pesawat. Yang biasanya mendirikan salat usai mendengar azan, waktu itu saya melakukannya berdasarkan intensitas sinar matahari. Saat semburat kuning tampil mencolok di gelapnya langit, teman seperjalanan lantas melakukan tayamum; tanda waktu Subuh telah tiba.
Usai melaksanakan salat wajib dua rakaat dalam kondisi duduk. Saya pusatkan kesadaran menatap titik kuning keemasan yang semakin lama semakin luas pancaran sinarnya hingga tirai malam yang pekat berganti benderang.
Suatu proses pergantian dari malam ke siang yang luar biasa yang sayang untuk dilewatkan. Tidak setiap waktu mendapatkan fenomena alam seperti ini, di atas angkasa pula!
5. Guling
Kehilangan selanjutnya jika saya traveling adalah *drum roll* … GULING.
Iya, guling!
Konon -di seantero jagad ini- hanya penduduk Indonesia yang punya kebiasaan tidur memakai guling sebagai salah satu perlengkapan tidurnya. Kalau benar adanya maka ini bisa jadi ke-Unik-an kita.
Dan saya termasuk wong endonesah yang sulit tidur tanpa guling plus bukan tipe pelor alias nempel molor. Terlebih jika bermalam di tempat baru. Retjeh ya? Tapi itulah faktanya.
So, walau saya menikmati bepergian, saat tidur perasaan senang tadi berubah menjadi double trouble; adaptasi kamar tidu dulu plus tak ada guling. Alhasil jadi bikin mata melotot beberapa saat sebelum jatuh tidur walaupun ngantuk warbiyasak!
Jadi manakala menginap di Ibis Manado dan menemukan guling terbujur manis di sandaran tempat tidur; it was like YIPPEEEAAAYY!
Kamar hotel Ibis Manado
6. Bahasa [Ibu]
Pernah gak mengalami keterasingan padahal Anda berada dalam keramaian? Lalu panik karena tidak mengerti not even single word of what people around are saying?
Atau mendadak berasa bego, lemah otak, tidak bisa mengingat lagi vocabulary pelajaran bahasa Inggris yang sudah kita pelajari dari semenjak bangku sekolah dasar?
Kalau jawabnya PERNAH, maka Anda paham betapa nikmatnya berkomunikasi dalam bahasa ibu. Sepandai-pandainya menguasai bahasa asing, ada satu tempo di mana otak akan tidak kompak dengan mulut. Buat saya, artinya stamina berpikir sudah di titik terendah. Biasanya dialami jika sedang training atau rapat dengan orang asing dalam hitungan lebih dari sehari.
Bayangkan saja, mau ngomong sesuatu; kita harus mikir “ini vocabnya apa ya?” Pakai grammar ala sekolahan kadang malah gak sampai isi pesan yang disampaikan. Kalaupun lawan bicara paham, kita harus menyimak every word they said. Ada proses berpikir lagi dalam otak, menerjemahkan maksud si orang tersebut. Terlebih jika mereka memiliki aksen yang “unik”. Walau kuping serasa udah dibuka selebar-lebarnya, tetap aja donk ga paham apa yang mereka ucapkan. Hampir seminggu siang-malam komunikasi seperti ini, alhasil lelah otak haha. Kepala makin panas rasanya jika trainingnya serius atau meetingnya alot!
So, dibalik berkah dapat kesempatan ke luar negeri dibayarin kantor, harus dibayar dengan kram otak gegara bahasa. Paling apes, jika pergi sendirian, gak ada kawan seperjalanan dari kantor. Alhasil manyun sendirian selama perjalanan. Pe-er tambahan jika negara yang dikunjungi, penduduk lokalnya juga tidak memakai Bahasa Inggris sebagai bahasa utama.
Namun dari beberapa kali perjalanan saya ke tanah asing, [kendala?] bahasa ini lebih banyak menjadi bahan cerita yang bikin ketawa dibanding kisah sedih atau seram. Ihh, semoga tidak deh!
Kesimpulan saya jika kita pergi sejenak dari rutinias, the missing of absence can’t be denied. Ternyata ada hal-hal yang kita rasa hilang dari keseharian.
At the same time, “The missing of absence” membuat saya belajar mensyukuri kemudahan yang sehari-hari diperoleh. Saking mudahnya saya cenderung -atau bahkan?- take it for granted.
Saya jadi belajar memahami perbedaan. Selama hal tersebut tidak menjadi gangguan yang berarti, tidak prinsip, so leave it as it is. Don’t sweat our life with small stuff juga ‘kan?
Mensyukuri diberikan kesempatan untuk sesekali merasakan artinya menjadi minoritas atau merasa “terasing”. Karena ternyata dari sanalah tumbuh rasa untuk simpati, bahkan empati juga rindu.
Sekarang saya jadi bisa mencerna makna ayat dari kitab agama yang saya yakini;
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.[QS 49:13]
—
Tulisan yang dibuat karena rasa kangen akan jalan-jalan ke tempat baru. Semoga covid segera berlalu.