Anak perempuan mungil itu berlarian mengelilingi tempat makan. Ketika semua orang tertawa melihat kelucuannya, saya hanya tertegun. Entah kenapa hati saya patah. Pertanyaan mengerikan yang selama ini sering membuat stres kembali muncul, “Kenapa anak saya yang secara fisik tampak lebih tua, belum bisa berlarian seperti itu? Apa benar tumbuh kembangnya terhambat karena mengalami stunting?”
Belum lepas dari lamunan sendiri, ibu dari anak perempuan itu sudah berdiri di samping meja kami sambil menggendong anaknya yang tidak mau diam. “Eh, ada temannya, tuh! Namanya siapa?” sapa basa-basi ala ibu-ibu membuka obrolan.
“Abyan,” jawab saya sambil tersenyum.
“Umurnya Abyan berapa?”
“Satu tahun.”
“Wah, adik kamu berarti ini,” ungkap Sang Ibu sambil menggerakkan tangan mungil anaknya.
Saya diam. Adik? Bagaimana bisa? Padahal bila dilihat ukuran tubuhnya, anak saya jauh lebih besar.
“Anak saya badannya memang kecil, Mbak. Sudah gonti-ganti dokter karena takutnya stunting, tapi semuanya bilang masih normal. Faktor genetika sih, saya dan suami badannya juga kecil-kecil. Jadi kata dokter, ini keturunan. Selama grafik di kurva tumbuh kembang aman, saya sudah tidak takut lagi. Maklum lah omongan orang sering bikin saya sakit hati.”
Pertemuan singkat itu bagai cambukan, bahkan tak terlupakan. Anak pertama saya susah sekali makan, sehingga badannya tidak segempal anak pada umunya di lingkungan tempat tinggal kami. Semudah itu saya menyimpulkan stunting, bahkan juga setelah mengunjungi banyak dokter dengan pernyataan serupa, yaitu normal. Ternyata selama ini hanya ambisi saya saja yang ingin menjadikan tubuh Abyan semok dengan mengambinghitamkan stunting.
Lalu, apa sih sebenarnya stunting, bila kondisi fisik yang lebih kecil atau kurus tidak selalu menentukan? Fakta bahwa malnutrisi adalah pemicu terbesar terjadinya stunting, bagaimana dengan anak saya yang seringnya hanya makan lima suap saja? Apa yang bisa saya lakukan sebagai orang tua agar untuk mencegah stunting?