Sudah sejak 2 bulan sejak kepergian orang tersayang dihidupku. Setelah ditinggalkan eyang putri awal tahun 2022 lalu, eyang kakung ikut menyusul pulang diawal Agustus tahun ini. Saat momen ditinggalkan eyang putri dan eyang kakung, aku memiliki penyesalan yang sama—tidak berada disisi mereka di waktu-waktu terakhir sebelum pergi untuk selamanya.
6 tahun menjadi anak ‘tunggal’ mereka saat aku merantau ke Malang di momentum sekolah menengah pertama dan menengah atas membuatku bersyukur, bahwa selain Ayah dan Bunda aku memiliki sepasang orang tua lainnya yang juga sangat menyayangiku. Walau tidak banyak yang bisa kulakukan untuk membahagiakan mereka di masa-masa itu—yang bahkan cenderung bandel dan sulit diatur, mereka tetap sabar mendidik dan merawatku seperti anak kandung mereka sendiri. Andaikan bisa melawan waktu, aku ingin mengulang ‘6 tahunku’ bersama mereka dalam kondisi lebih dewasa dari sekedar remaja ABG belasan tahun.
Ada suatu momen yang cukup berkesan ketika rok seragam sekolahku robek dan perlu dijahit. Dulu aku cukup suka berkreasi dengan kegiatan memanfaatkan jarum & benang menjadi kristik ataupun rajutan, sehingga untuk menjahit rok yang hanya robek sedikit saja aku berpikir bisa melakukannya sendiri. Namun karena kesusahan sendiri, eyang putri akhirnya tau sendiri dan memarahiku karena menjahit manual dengan tangan sendiri dan enggan meminta pertolongan beliau.
Begitulah, terkadang cara eyang menyayangi cucunya berlebihan untuk suatu masalah yang sederhana. Mereka menganggap cucunya masih sama seperti bayi kecil yang sangat perlu dilindungi, padahal sudah cukup umur untuk tidak dikhawatirkan setinggi itu.
Dear eyang putri dan eyang kakung,
Selamat beristirahat. Terima kasih atas banyak kenangan membahagiakan selama hidup di dunia. Tara akan selalu mendoakan eyang.
With love, Tara.
Baca Selengkapnya
Visit Blog