Beberapa waktu lalu, saya memutuskan pergi sejenak. Butuh keberanian cukup besar untuk melakukannya. Hal yang selama ini saya impikan sekaligus takutkan.
Sebelum berangkat, aku bertanya-tanya pada diri. Apakah aku yakin? Berbagai macam pertanyaan ‘bagaimana kalau…’ menghantui pikiran. Tak mau ambil pusing, aku pun langsung mengambil kunci dan menancapkan gas.
Tak dapat dipungkiri, selama perjalanan hati saya berdegup. Khawatir akan hal-hal yang tak diduga akan datang. Tapi, saya juga nggak bisa berbohong kalau senang bukan main. Seolah saya telah menjadi wanita yang merdeka, dari rasa takut saya sendiri tentunya.
Saya pergi menemui seorang teman di sana. Bertukar kabar, mengurai benang kusut yang ada di kepala. Terlalu lama kami nggak bertemu. Banyak sekali hal yang baru saya tahu tentangnya. Apa yang dilaluinya kini, membuat saya teringat akan masa lalu.
Masa di mana saat saya merasa dunia telah runtuh menjadi berkeping-keping. Saat saya merasa sendiri dan tak tahu harus bersandar pada siapa. Pergi ke mana. Dan apa yang harus saya perbuat.
Darinya, saya mendapatkan jawaban atas pertanyaan diri saya saat ini. Ikhlas dan sabar. Dua hal yang ternyata menjadi kunci hidup saya. Ya, saya sudah terlalu lama berdialog dengan diri, mempertanyakan banyak hal dan mencari pembenaran.
Saya lupa, kalau Dia memiliki kendali penuh atas apa yang terjadi pada hidup saya. Merasa nggak puas? Tentu. Merasa nggak adil? Sangat. Tapi, tidak ada jawaban pasti yang terkait dengan-Nya. Tuhan nggak peduli dengan apa yang diperbuat orang lain. Dia hanya peduli pada saya. Apa yang saya lakukan pada orang lain.
Atas dasar penilaian itulah yang membuat saya bergelut dengan diri. Merasa saya berhak marah, kecewa. Tapi, nyatanya Tuhan nggak pernah mengijinkan itu. Pada akhirnya saya pun mencoba untuk berdamai.