Film ini dibintangi oleh sejumlah aktor dan aktris, seperti Donny Damara, Ringgo Agus, Hanggini, dan Marsha Timoty. Rupanya, Film ini adalah adaptasi dari film Jepang yang berjudul “3ft Ball & Souls” pada tahun 2017.
Pada awalnya aku gak tertarik dengan film ini. Terutama karena sepanjang trailer, adegan hanya berkutat di satu ruangan seperti gudang. Setelah menonton, pada akhirnya aku justru merasa bahwa ada banyak pembelajaran terkait ilmu psikologi di dalamnya. Yuk kita kupas satu per satu!
Film apa sih, ini?
Film ini menceritakan empat tokoh yang berkeinginan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara yang cepat tanpa rasa sakit. Salah satu tokoh menawarkan sebuah ide pengakhiran hidup dengan cara meledakkan diri melalui bola besar berisi kembang api. Keempat tokoh ini bergabung ke dalam grup yang diinisiasi oleh tokoh bernama Fahmi (diperankan oleh Donny Damara).Bukannya mendapatkan apa yang diinginkan, justru keempat orang tersebut terjebak dalam time loop, dimana mereka akan kembali ke hari yang sama (seperti film the death day). Intinya, keempatnya mengalami deja vu secara berurutan.
Jika berbicara mengenai jalan cerita, sebenarnya mungkin bisa ditebak. Yup, semuanya mengurungkan niatnya. Namun, konflik tiap tokoh dan interaksi yang dibangun di dalamnya, sangatlah menarik. Ilmu psikologi bisa diambil dari masing-masing konflik yang dialami oleh tokoh.
Konflik tiap tokoh
Tokoh Fahmi oleh rupanya sedang terlilit hutang karena menanggung kerugian atas kegagalan pekerjaannya sebagai pembuat kembang api. Fahmi berniat untuk mengakhiri hidupnya meski hubungannya dengan istri dan anaknya sangat harmonis. Dia merasa bahwa dengan ketiadaan dirinya, anaknya bisa menggunakan biaya asuransi untuk melanjutkan pendidikan. Dari sini kita lihat perjuangan seorang ayah untuk anaknya, meski dengan cara yang ekstrim.
Marsha Timoty yang memerankan karakter Sukma, berniat untuk bunuh diri karena ingin menghilangkan rasa sakit akibat rasa bersalah pada anaknya. Kasus Sukma adalah, dirinya mengalami kecelakaan dengan anaknya, namun yang selamat hanyalah Sukma. Harapan lainnya adalah supaya ia bisa bertemu lagi dengan anaknya, Darwin. Ada scene di kamar, dimana Sukma berdebat dengan suaminya. Ini masuk ke dalam lima tahap kedukaan Kubler Ross, dimana Suka sedang berada di fase kedua yaitu Anger, dimana Sukma kerap menyalahkan orang lain ataupun diri sendiri atas kejadian yang menimpa anaknya.
Ringgo Agus memerankan tokoh Raga, sebagai dokter yang memiliki trauma. Dirinya tidak berhasil untuk menyelamatkan seorang ibu yang sedang mengandung, pun dengan bayi yang dikandungnya. Trauma adalah kondisi yang muncul sebagai respon dari pengalaman atau peristiwa buruk yang dialami seseorang. Kondisi ini bisa mempengaruhi kesehatan mental dan emosi orang tersebut, termasuk salah satunya adalah merasa engga dan grogi ketika melakukannya kembali.
Kasus tokoh Anggun baru diketahui menjelang akhir, dimana dirinya dirundung oleh teman sekolahnya. Ternyata selama ini ibu Anggun tidak mengetahui jika anaknya menjadi korban bully. terlihat scene dimana Anggun justru mencuri uang ibunya dari dompet, untuk diberikan kepada pembully-nya. Anggun, sesosok anak SMA yang milenial, hadir seakan-akan mengkritisi pemikiran para ‘senior’ yang ada dalam gudang tersebut.
Interaksi para tokoh dalam film dan maknanya
Selain konflik masing-masing tokoh, interaksi antar tokoh juga perlu disorot karena dari sinilah benih ilmu psikologi muncul. Sesuatu yang kita alami mungkin saja dianggap sebagai persoalan yang mudah bagi orang lain, begitupun sebaliknya. Kejadian yang sukses membuat seseorang menangis bombay, nyatanya bisa jadi hal yang biasa untuk kita. Pasalnya, masih banyak orang yang meremehkan permasalahan yang dialami oleh orang lain. Ini dipotret pada scene dimana Anggun dilarang untuk bunuh diri karena masih duduk di bangku SMA. Para ‘senior’ menganggap masalahnya remeh, bahkan merasa bahwa Anggun lah penyebab mereka berempat terjebak dalam time loop. Ada pula scene dimana mereka saling beradu nasib, mengenai siapa yang paling malang dalam situasi tersebut. Tentu ini dilakukan oleh mereka yang lebih tua, kepada mereka yang lebih muda.
Dari film ini kita belajar bahwa daripada adu nasib, akan lebih baik jika kita saling mendukung atau memberikan support satu sama lain. Selain itu, film ini seakan ingin mengatakan bahwa selama ini kamu sebenarnya masih punya waktu untuk memperbaki kesalahan atau kejadian di masa lampau.