Perdebatan tentang perempuan penganut prinsip childfree dengan perempuan pejuang garis dua sempat menghebohkan dunia sosial media beberapa waktu lalu. Berawal dari seorang perempuan GS (inisial nama) asal indonesia yang sedang menetap di Jerman bersama sang suami menyuarakan kenginan dan alasannya untuk tidak mempunyai seorang anak lewat akun instagramnya.
Perempuan tersebut diketahui aktif sebagai youtuber dengan video kontennya membahas tentang pengembangan diri, tentu saja hal ini membuat pernyataannya tentang childfree cepat menyebar luas dan menjadi topik yang hangat. Beberapa orang ada yang sependapat, namun lebih banyak yang menyerang dengan argumen negatif.
“Perempuan itu memang kodratnya menjadi seorang Ibu”
“Perempuan belum dikatakan perempuan jika belum menjadi seorang Ibu”
“Bilang aja mandul berkedok childfree”
Komentar seperti di atas adalah beberapa dari banyaknya tanggapan negatif yang diterima oleh GS. Banyak perempuan pejuang garis dua merasa bahwa pernyataan GS tidak menghargai usaha dan perjuangan mereka untuk bisa memiliki anak. Padahal yang saya tangkap dari pernyataan GS tersebut bersifat opini pribadi yang artinya sebuah prinsip dia bersama sang suami untuk pernikahan mereka.
PANDANGAN MASYARAKAT
Masih banyak sekali di lingkungan masyarakat memandang perempuan yang memilih childfree adalah pilihan yang salah dan selalu mendapat cemooh.
Masyarakat seperti sudah terdoktrin dengan pemikiran bahwa semua wajib menikah, setelah menikah semua perempuan wajib menjadi ibu dari anak-anak, perempuan bisa dikatakan ibu jika dia bisa melahirkan, pernikahan dipandang gagal oleh masyarakat jika perempuan tidak mau atau tidak bisa memiliki anak.
Lebih menyedihkannya lagi adalah ketika perempuan mengalami strees dan tekanan setalah menjadi Ibu, mereka tidak mendapatkan ruang untuk menjelaskan kelelahan mereka, perasaan takut yang mereka alami. Seolah-olah itu sudah menjadi hal wajar dan harus ditanggung setiap perempuan.
MENGENAL TENTANG CHILDFREE
Istilah childfree adalah sebuah keputusan untuk tidak memiliki seorang anak. Konsep childfree ini sudah ada sejak lama dan banyak orang luar negeri yang menerapkannya antara lain seperti Jepang, Korea, Amerika dan Jerman.
Childfree adalah keputusan personal atas hidup seseorang. Keputusan ini tidak hanya bagi perempuan, tetapi semua pria juga bisa memilih untuk tidak memiliki keturunan.
Sebagai pasangan suami-istri keputasan childfree tidak bisa diputuskan sebelah pihak. Oleh sebab itu, sangat dianjurkan untuk membahas tentang persoalan anak kepada pasangan sebelum melanjutkan kejenjang yang lebih serius.
Ada istilah lain untuk menyebutkan mereka yang memutuskan tidak mempunyai anak yaitu Childless. Childless keputusan yang dibuat karena adanya masalah biologis atau fisik yang menyebabkan seseorang baik perempuan atau pria tidak bisa memiliki keturunan.
KEBEBASAN PEREMPUAN MEMILIH HAK
Ms. Magazine adalah sebuah media digital tentang feminis, dalam artikelnya tahun 2019 berjudul “Apa Arti Pilihan bagi Wanita Tanpa Anak” menjelaskan bahwa perempuan harus diizinkan untuk memilih kapan, bagaimana dan apakah mereka mau menjadi ibu. Mereka perlu berbagi cerita dan berbicara untuk diri mereka sendiri atau bagi perempuan yang tidak mendapat kesempatan dilingkuannya untuk didengarkan.
Orna Donath penulis buku Regretting Motherhood (Menyesal menjadi Ibu) buku yang dianggap kontroversial namun isinya begitu jujur. Dalam buku ini menjelaskan bagaimana perasaan dari 23 para ibu di Israel dengan status sosial berbeda namun mengungkapkan penyesalan yang sama atas keputusan menjadi seorang ibu.
Satu sisi mereka merasa bahagia memiliki dan merawat anak, tetapi disisi lain mereka mengalami banyak masa-masa sulit, malam-malam tanpa tidur, rasa lelah, frustasi, mengurus anak sepenuhnya dibebankan kepada mereka sebab hidup di hubungan patriaki atau mengalami perpisahan dengan suaminya.
Namun semua fakta itu harus mereka bungkam, tidak diizinkan untuk menyuarakan dan seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Sebab ketika para ibu menceritakan keluhan dan penyesalannya mereka akan dianggap menyimpang, jahat dan dihujat. Tidak ada yang mempertanyakan bagaimana peran suaminya saat para ibu mengalami drepresi.
Menurut saya pesan yang ingin disampaikan Orna Donath untuk memberikan kesempatan para ibu bercerita apa saja beban yang mereka alami, agar bisa menjadi pemahaman bahwa menjadi ibu adalah keputusan yang besar dan tanggung jawab yang besar.
Dari pengalaman tersebut bisa dijadikan pembelajaran untuk perempuan dan pria yang memang ingin memiliki anak dalam pernikahan mereka harus lebih mempersiapkan diri secara pengetahuan, mental, finansial dan tanggung jawab.
Hal yang membuat saya heran dan sedih adalah mengapa perempuan selalu mendapat ruang sempit untuk memilih kebebasan atas dirinya, terutama atas tubuh mereka sendiri.
Jujur saja fenomena ini membuat saya ketakutan, sebab saya adalah salah satu perempuan yang tidak ingin melahirkan dan tidak begitu mengingankan seorang anak. Saya tidak mengatakan “Tidak akan mau punya anak”, tetapi bagi saya anak bukanlah prioritas dalam sebuah pernikahan. Tidak ada anak pun tidak menjadi perkara besar bagi saya.
Mungkin suatu saat perasaan saya bisa berubah dan ingin mengadopsi seorang anak. Jujur saja saya memilih adobsi karena saya tidak mau menanggung rasa sakit saat mengandung dan melahirkan.
Terlebih bagi saya pribadi, seseorang bisa saya anggap sebagai anak meski bukan keluar dari rahim saya.
Ikatan anak dan ibu adalah ikatan batin yang murni dari hati, perasaan kasih, peduli dan menjadi tanggung jawab atas kehidupan anak tersebut.
Pasti pernyataan saya di atas tidak akan bisa diterima semua orang, ya itu tidak masalah. Sebab opini yang saya tulis ini tidak mengajak semua orang untuk melakukan hal yang sama. Saya punya hak atas hidup saya dan begitu juga perempuan-perempuan lainnya.
Menjalankan peran sebagai ibu tidak mudah dan bukan perkara gampang. Saya sangat menghargai semua keputusan perempuan hebat yang memiliki anak atau sedang berjuang untuk mendapatkan anak.
Saya berharap untuk semua para ibu tetap merasakan bahagia dan tidak kehilangan momen untuk menikmati hidupnya disela-sela mengurus anak mereka.
Lewat tulisan ini saya ingin mengajak masyarakat lebih memahami dan mengerti untuk menormalisasikan hak-hak perempuan atas hidup dan tubuh mereka. Semua perempuan punya priotitas masing-masing seperti pendidikan, pekerjaan, pernikahan dan juga anak.
Ketahuilah bahwa tidak semua perempuan mampu dan sanggup menjadi ibu. Tidak semua perempuan wajib menjadi ibu.