Yes, I’m back (again). Setelah libur update blog semenjak bulan September, here I am now dengan postingan fotografi persisnya tentang editing.
Mengapa editing?
Bisa jadi ini merupakan akibat dari belakangan sering ngedit foto, jadinya terpikir untuk sharing pengalaman tentang foto editing.
Mulanya saya berpikir foto ciamik merupakan hasil jepretan paripurna seorang fotografer; kombinasi prima antara kemampuan teknis si pemotret, penguasaan atas kamera dan kualitas kamera itu sendiri. Fotografer atur settingan kamera, jepret langsung jadi deh foto keren.
Ternyata ada hal lain yang luput dari radar saya yaitu proses editing. Ada proses editing walau sedikit. Diibarakant manusia; sudah cantik semacam Raisa atau Sofia Latjuba, masih perlu bubuhi make-up walau tipis.
Secara bahasa, edit bisa berarti merubah, memodifikasi. Artinya foto yang kita lihat sebagai hasil akhir, bisa jadi bukan jepretan orisinil dan sudah ada “campur-tangan” editing.
Jadi, edit foto itu diijinkan? Jawabnya adalah IYESS!
Hasil menggali ilmu di beberapa workshop fotografi yang saya ikuti, para narsum selalu menyampaikan materi tentang editing selain tentang teori fotografi. Masing-masing mempunyai aplikasi favorit berikut teknik editing yang dikuasai di mana hasilnya menjadi ciri khas karya mereka.
Sesungguhnya, apakah yang dimaksud dengan proses editing?
Pengertian mudah untuk editing adalah “memperbaiki kesalahan” eksposur dasar (ISO-Aperture-Shutter) yang luput kita lakukan dengan benar di kamera. Dengan kata lain, editing merupakan proses perbaikan setelah “proses” pemotretan, maka lazim juga dikenal sebagai post-editing. Semacam touch up make-up gitulah.
Editing dengan VSCO photo editor
Yang harus sering-sering ditanamkan dalam benak bahwasanya post-processing bukanlah pengganti kerja kamera yang bagus, meskipun kadang dapat meningkatkan hasil kinerja kamera.Bahkan seorang Darwis Triadi pun mengingatkan “Saat memotret, jangan berpikir untuk mengedit foto karena setiap operational system aplikasi editing itu tiada bedanya. Jika bergantung pada aplikasi editing, foto yang dihasilkan tidak akan punya ciri khas.”
Lihat perbedaan antara gambar yang over expossed dan under expossed. Lalu putuskan seperti apa tingkat exposure yang benar (atau diinginkan).
Pahami white balance di mana warna putih terlihat putih, sebagaimana mestinya. Bukan kuning atau biru atau oranye.
Lihat kontras antara gelap dan terang.
Perhatikan level of noise
Pasca-pemrosesan pada akhirnya merupakan pilihan pribadi. For the shake of simplicity, biasanya setting editing ini dibikin standar. Setiap kali buka aplikasi editingnya, by default sudah siap pakai. Tak jarang jadi elemen yang mendasar dari gaya pribadi “editing” seseorang. Atau biasa disebut preset.
Terlebih jika Anda penggiat Instagram, I believe you know what I’m talking about 😊
Salah satu faktor akun IG seseorang disenangi banyak orang adalah jika feed-nya rapih, hasil jepretannya baik. Plus -ini gak wajib walau nice to have- theme yang senada. Theme yang memanjakan mata biasanya dicari orang. Dan bagi yang nggak mau ribet ngedit or even oprek-oprek edit aps, opsinya adalah beli present. Hal itu membuat preset jadi ladang bisnis yang menjanjikan.
Saya sendiri punya kecenderungan akan tone tertentu namun tidak ngoyo. Dalam artian lebih menyukai hasil jepretan sebagaimana aslinya. Hingga sekarang masih setia dengan pakem, ngedit seperlunya aja. Seperti naikin or turunin brightness.
However, there is no Wright or Wrong in creativity.
Rute apa pun yang Anda ambil hanyalah bagian dari gaya pribadi Anda, bagian dari tumbuh-kembang kita dalam berkarya.