Sebagai pembaca buku, inginnya segera menyelesaikan buku yang sedang dibaca. Sayang rasanya jika mesti jeda ditengah cerita yang seru. Ibarat sedang nonton drama Korea dan ketegangan sedang memuncak, eh harus ditunda ke episode berikutnya. Bete.
Kalau sudah demikian, pengennya itu buku dibawa kemana pun, walau kadang “merepotkan”. Mengingat buku mudah lecek, basah jika kena air bahkan rusak karena usang.
Walau demikian hingga kini saya tetap tidak beralih ke ebook.
Katakanlah saya old fashioned tapi saya punya alasan sendiri mengapa hingga kini tidak menggunakan buku elektronik.
Inilah alasan saya tidak beralih ke ebook.
The aromatic paper
Selalu hadirkesenangan tersendiri manakala nostril-nostril mencium aroma spesifik yang menguar dari buku baru. Kemudian jemari membukanya dengan hati-hati seolah kertas adalah benda rentan mudah pecah. Membalikkan halaman demi halaman sama mengasikkannya dengan mencari tahu isi cerita.
Belum lagi bunyi khas yang tercipta manakala jemari membalikkan setiap helai kertas. Suara yang mungkin lemah terdengar dalam keramaian, namun jadi semacam nada tersendiri di lengangnya sepi.
Karena buku cetak memiliki halaman yang bagus dan lembut untuk disentuh. Maka kertas membuat membaca jadi kegiatan yang menyenangkan secara fisik. Pengalaman fisik saat membaca buku akan tersimpan dalam otak manusia sehingga saat kita membuka kembali dan menyentuhnya, memori itu akan terpicu untuk mengingat kembali.
Buku itu menyenangkan
Setelah menatap layar komputer di tempat kerja sepanjang hari, bagaimana otak dan mata bisa rileks ketika dirumah harus menatap layar lain untuk membaca ebook?
Karena setiap saat memandangi layar gawai dapat membuat mata dan otak menjadi cepat lelah. Peneliti dan yang dilakukan di Swedia pada tahun 2005 menunjukkan bahwa membaca di layar memakan habis energi jauh lebih banyak dibanding membaca dari kertas. Sinar LED yang muncul juga dapat menganggu pola tidur dan membuat tidur menjadi tidak berkualitas.
Bayangkan betapa santainya meringkuk di rumah tanpa harus menatap layar. Priceless!
The book is mine
Yang ini posesif banget, hahaha.
Tapi betul ‘kan, kita bisa memiliki buku selama yang kita mau hingga mewariskannya pada anak atau memberikannya pada seseorang yang kita anggap akan menghargai buku dengan baik.
Proses “menyentuh” buku ternyata juga melibatkan seluruh panca indera. Mulai dari mencium aroma buku baru, membalikkan halaman, memegangnya saat kita meraih cangkir kopi menghasilkan sejumlah rasa sehingga kita merasa kaya karena memilikinya karena semua indra terlibat.
Di situlah moment of truth buku adalah produk spesial dan memberikan arti lebih bagi pemiliknya.
Masih mengutip hasil studi yang dilakukan oleh peneliti Swedia tahun 2005; buku digital dan fisik adalah kedua produk yang berbeda. E-book lebih seperti pengalaman layanan (User Experience). “Secara keseluruhan, ebook lebih menawarkan pengalaman yang lebih efisien dan fungsional.”
Meskipun aslinya saya bukan termasuk yang suka “menodai” buku [baca mencoret buku, melipat ujung halaman sepagai penanda bacaan apalagi melipat buku], untuk buku tertentu saya -biasanya buku untuk non fiksi- akan memberikan marking pada bagian yang saya anggap penting. Biasanya saya menggunakan stabilo markert atau menggarisbawahi kalimat tertentu.
Yang mana agak sulit dilakukan dengan ebook. Kalau toh bisa, tidak semua ebook menyediakan fitur ini.
Jadi ada hubungan antara gerak fisik dan kognisi. Memberi tanda atau mencoret buku. sepertinya membantu kita untuk mengerti dan mengingat suatu bacaan dengan lebih baik.
Books is artsy and photogenic
Dari sisi kepraktiskan, penggunaan e-book ini memang menjawab kebutuhan tersebut. Ebook tidak makan tempat karena cukup berada di satu gawai selama kapasitasnya memadai. Dibanding buku yang membutuhkan tempat khusus.
Di rumahpun, dengan jumlah buku yang kami [saya & anak-suami] miliki satu rak saja rasanya masih kurang. Bicara soal rak dan buku, tak jarang kombinasi keduanya menghasilkan karya yang unik dan mempunyai nilai estetika tersendiri bagi pelaku desain interior.
There’s nothing can change the beauties of bookshelves with plenty of hardcopy sitting on rack. Eventually, baik bentuk-ukurannya, susunannya maupun warna-warni sampulnya bisa menjadi elemen ruang yang tak biasa, lho.
Jejeran beragam buku dalam rak sudah sukses jadi mood booster buat saya. Pernah merasakan excitement yang berbeda bergitu berada dalam toko buku? Saya sering! Dan hanya bookwarm sejati yang memahaminya heheheh.
Cukup hanya hanya strolling around dalam toko buku, tanpa membeli satupun, it is already mood booster for me!
I do not own this picture
Yet, I think e-books do not substitute paper books, in fact they complement each other.
Actually I read both tough. Ada beberapa buku yang ingin saya baca, sulit mendapatkan versi cetaknya, somehow saya mendapatkan versi digitalnya. Biasanya ini buku terbitan lama yang sudah tidak beredar di toko buku. Jadi saya juga punya sejumlah bacaan dalam ebook. Walau demikian rasanya tetap tidak sama. The sense still different.
Begitulah kalau sudah kadung jatuh cinta pada buku. Sulit rasanya beralih ke ebook!
Namun jika reader adalah pencinta ebook, so be it. Biarkan kita dengan pilihan masing-masing, ya! 😁