Dulu, enam hingga delapan tahun lalu, saat gue merasakan ketidaknyamanan di tempat kerja yang semakin membuncah, pikiran tentang resign terus menghantui gue. Gue tidak keberatan melepaskan jabatan dan semua fasilitas yang disediakan. Gue tidak khawatir tentang bagaimana nasib gue nanti – apakah akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik atau justru sebaliknya. Akan tetapi yang gue khawatirkan adalah pikiran dan ketakutan gue sendiri.
Like a broken record, gue terus-menerus bertanya pada diri sendiri. Kalau gue resign, apakah itu berarti kemampuan gue dalam bekerja (in which pressure is part of it) dan menjalankan fungsi sebagai social being (walaupun dalam lingkup sekecil tempat kerja) sangat buruk?
Sebegitunya gue memandang rendah diri gue. Gue gaslighting diri gue sendiri seperti berkata, “Segitu doank aja lemah. Semua orang yang kerja juga pasti ngerasain hal serupa. Ga susah baperlah.”