Sore hari itu berjalan tenang, seperti nyanyian semesta yang selalu sempurna. Berjalan menyusuri tangga halte transjakarta yang membawa pulang ke rumah, bakso malang seberang Grand Indonesia, kopi susu dingin favorit yang membuat tak ingin beranjak, wangi mendoan hangat yang tertinggal di pakaian yang dikenakan. Namun ternyata sesuatu yang tidak biasa terjadi pada tengah malamnya. Datang perlahan tanpa aba-aba, serupa udara yang kau hirup namun tak pernah kau temukan wujudnya. Sampai pada akhirnya pilihan terakhir kita hanya bertahan, atau menghilang hingga tak bisa lagi untuk ditemukan.
Puluhan purnama, sampai tahun yang ketiga, aku terbiasa melihat orang disekitarku berjatuhan tanpa daya. Untuk pertama kalinya semesta berkata, sekarang adalah giliranku.
Baca Selengkapnya
Visit Blog