Ini kusta! Tau ngga kusta? Harus dibiopsi, kalau di luar bisa 400 ribu. Mau bayar 400 ribu?
Kalimat tak menyenangkan tersebut diterima oleh salah satu penyintas kusta yang sedang berobat ke salah satu Rumah Sakit milik Pemerintah di Jakarta bersama anak perempuannya. Jelas bukan perlakuan yang menyenangkan, apalagi untuk orang sakit.
Siapa sih yang ingin punya penyakit? Saya kira tidak ada yang menginginkan hal itu. Namun petugas kesehatan pun mengingatkan penyintas dengan cara yang tidak pantas. Melemahkan mental dan tentu saja meredupkan keinginan mereka untuk berobat.
Maka ketika ada yang mengatakan bahwa penyintas kusta mendapatkan perlakuan yang berbeda atau kalau boleh dibilang mendapatkan diskriminasi, itu benar adanya. Ini contoh nyata. Meskipun saya yakin tidak semua petugas kesehatan seperti itu.
Seorang Ibu di akhir tahun 2016 divonis menderita kusta. Ibu dengan usianya yang tak lagi muda itu memutuskan untuk berobat secara mandiri (tidak mau memakai jalur Pemerintah) karena tidak ingin orang-orang tahu.
Jika banyak orang yang tahu soal penyakitnya, ia tak yakin akan mendapatkan perlakuan yang manusiawi atau tidak. Inilah yang selama ini menjadi stigma di masyarakat.
Pengobatan pertama yang direncanakan si anak perempuan untuk Ibundanya adalah menuju salah satu skin center di Jakarta. Dokternya baik, ramah, dan tenang sekali. Hanya mengatakan :
Tidak apa-apa Bu. Obatnya ada di RS A dan B. Ibu mau dirujuk kemana?
Dari situ perasaan si anak sudah tidak enak, kalau tidak apa-apa kenapa harus dirujuk? Bahkan sampai ke rumah sakit besar seperti A dan B?
Setelah ke rumah sakit rujukan milik Pemerintah, belum sempat bertemu dokter, sang Ibu dan anak sudah mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan seperti yang telah saya ceritakan pada paragraf sebelumnya.
Padahal mereka ini pasien yang memutuskan untuk membayar dengan biaya pasien umum, tidak memakai BPJS yang katanya sering dianaktirikan. (Bahkan BPJS pun berbayar kan?)
“Ini kusta! Tau ngga kusta? Harus dibiopsi, kalau di luar bisa 400 ribu. Mau bayar 400 ribu?”
Pelayanan yang kacau dan belum sampai berobat saja sudah mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan seperti itu. Mana mau meneruskan untuk berobat kalau setiap hari bertemu dengan paramedis bermuka masam?
Akhirnya si anak perempuan memutuskan untuk pulang dan tidak berobat di sana. Ia mencari dokter kulit yang praktik mandiri. Berharap klinik atau dokter yang praktik mandiri bisa lebih ramah menghadapi penyintas kusta yang memang menular.
Ia mencari-cari dokter yang pas. Meskipun sempat dihadapkan pada perlakuan tak menyenangkan dari petugas medis salah satu RS swasta yang dikunjunginya saat itu, namun ibu dan anak perempuannya ini tak gentar.
Kalau memang tidak bisa mendapatkan pengobatan dengan nyaman, lebih baik mencari fasilitas kesehatan lain saja meskipun lebih mahal.
Begitu pikirnya.
Akhirnya setelah nekat, beruntungnya bagi si anak perempuan dan ibunya menemukan tempat praktik dokter kulit. Ternyata dokter tersebut ketua yayasan sosial yang bergerak di ranah pemulihan penyintas kusta. Akses untuk dapat antibiotik “subsidi” juga dipermudah dan kita tidak ditakut-takuti dengan penyakit ini.
Obatnya memang langka, mahal dan belum lagi penyakit penyertanya. Si anak perempuan yakin bisa membawa ibunya berobat. Tak peduli harus kerja Subuh hingga petang demi kesembuhan sang Ibu. Karena ia yakin dengan pengobatan yang lengkap, kondisi mental yang baik, Ibunya bisa sembuh.
Akhirnya si Ibu mampu bertahan dengan meminum obat-obatan yang diberi dokter selama 1,5 tahun tanpa putus. Si anak perempuan sigap membawa berobat ibunya ketika masih tahap hansen kering, jadi belum sampai fatal.
-Kisah di atas adalah kisah teman saya yang menceritakan bagaimana Ibunya dan dirinya berjuang untuk mendapatkan pengobatan kusta.-