Jika seseorang lompat dari gedung yang kebakaran, tidak ada satupun yang berdiri di jalanan berkata agar ia tidak lompat. Kini kata iman menjadi api yang membakar gedungku. Ibu dan tante bilang aku lemah karena terus-terusan mencoba untuk melompat dari gedung yang kebakaran ini. Mereka benar, kemarahanku pada kata-kata mereka bisa jadi sisa-sisa dari kepongahan hidup yang masih kumiliki. Jika seseorang benar-benar ingin mati, apakah ia butuh alasan untuk melakukannya? Terlalu banyak alasan sampai tidak ada alasan yang tersisa.
Aku perempuan yang bahkan takut untuk berbicara pada perempuan, karena mereka akan berkata bahwa aku tidak sehat karena tidak berusaha mencari laki-laki diluar sana untuk kuberikan anak. Kewarasanku apakah tidak sama dengan kewarasan laki-laki? Jika aku memilih untuk tidak memiliki anak dan membiarkan rahimku membusuk, apakah lantas aku akan masuk neraka? Semua rahim bisa dibuahi dan melahirkan anak, tapi apakah setiap wanita yang memiliki rahim pantas untuk menjadi ibu?
Bahkan sekarang aku saja membenci kesombongan ibuku untuk menikahi lelaki yang bahkan tidak ia sukai lalu melahirkan anak sepertiku…. dan kakak-kakakku. Aku bahkan tidak bisa menggapai tangan yang mengulurkan pertolongan karena aku terlalu takut menjadi perempuan yang memilih untuk mematikan dirinya dalam sosok seorang laki-laki. Kesombonganku pada perkataanku ini apakah berhak untuk dituliskan?
Kenapa kesedihanku hanya menjadi kesombongan di matamu? Apakah aku bahkan tidak boleh membenci laki-laki meski aku sudah disakiti seperti ini?
Kakakku yang memegang buah dadaku. Bapakku yang meninggalkan kami untuk seorang perempuan yang lebih nurut. Pamanku yang memanipulasi semua peninggalan inyak.
Belum lagi ribuan laki-laki tak bernama yang menumpahkan siluet busuknya dalam hidupku.
Kenapa aku harus berusaha memaklumi kalian tapi tidak ada satupun yang memaklumi kesedihan dan kemarahanku?