Cerita ke keluarga kalau pengen kuliah ke Bogor dapet tanggapan yang biasa banget. Bukan karena jurusan dan kampusnya, tapi ya karena letaknya yang jauh itu. Tapi keluarga tetep setuju dengan pilihan aku yang mau lanjut ke Bogor. Singkatnya, waktu ndaftar tiba, aku ndaftar di hari ke-3 yang bisa dibilang tengah-tengah. Bentar, malemnya dulu, sebelum ndaftar diskusilah lagi kami soal ini dan ya ga bisa aku ungkapin di sini penuhnya, intinya keluarga nyaranin buat ambil yang deket aja, Jogja atau Jawa Tengah, tiba-tiba? Ya, tiba-tiba. Rasanya cuma satu, bingung, yang buat aku cuma diem aja. Solusi tercepat di kepala sekaligus hal yang udah aku tebak dulu, jurusan sama di kampus antara dua provinsi, muncul. Nulis ini di hati keinget banget, ya yang emang baru kemarin tapi rasanya kaya udah lama banget (karena coba di lupain).
Buat aku, kalau ambil jurusan yang sama rasanya lebih berat ikhlasnya karena sama jurusannya. Karena udah aku tetapin mau ndaftar di hari ke-3 itu, waktu mikir tinggal beberapa jam sebelum hari besok. Efek habis baca “Filosofi Teras”, aku tenangin pikiran sendiri dan ga memunculkan atau menekan perasaan berlebih. Coba ga pikirin aja dengan ga cerita sama temen atau orang lain selain keluarga tentunya (karena kan udah tau) biar bisa langsung tidur. Tidurpun ga kerasa tau-tau langsung tidur aja. Besoknya aku bangun dan curhatin semuanya dengan Yang Maha Mengetahui. Semua perasaan memang sengaja aku tumpahkan biar lega. Tau-tau lagi langsung tidur aja dan bangun lagi buat menunaikan ibadah. Saat itu, perasaan tiba-tiba kosong aja, kosongnya itu seperti gaada beban, plong. Dan ya, tidur lagi. Ternyata melelahkan dan menguras energi, tidur jadi gampang banget. Paginya yang tiba-tiba cling adalah B, bilang aja B. Iya ah, kataku, ini aja nih menarik dan kayaknya cocok. Et bentar, beda banget sama yang sebelumnya sih? Kaya bukan passion-ku. Kebetulan image si jurusan B ini ya terkenal dengan pelajaran (pelajaran kan?) yang butuh lebih effort, menurut pendapat pribadiku. Yang aku sendiri kaget, kenapa yang muncul itu dan kenapa aku bilang cocok. Ngitung-ngitung peluang yang kayaknya bisa lolos, aku cerita ke keluarga lagi dan setuju. Karena emang kesepakatan kami, kalau letak kampusnya ditentuin keluarga, soal jurusan itu bebas pilihan aku sendiri. Ndaftarlah aku dan selesai ndaftar gabisa dipungkiri kepikiran terus *emotikon senyum datar*. Cocok gasih? Bisa gasih? Nyemplung kejauhan gasih? BENERAN GASIH??
Passion, hal yang aku bingung buat njawab, hal yang aku rasa aku udah temuin, dan hal yang di luar ekspetasi. Aku bersyukur, ternyata keterima di jurusan B tadi dengan bahagia bentar habis itu datar. Di sini aku omongin ke diri sendiri, iya kamu suka masak, suka hal berbau pangan, biologi-kimia, Bogor, tapi beginilah Yang Maha Mengetahui merestui. Toh yang pilih jurusannya kamu sendiri. Kamu sendiri lagi yang ngitung peluang. Mulai dengan kesungguhan, lakukan dengan sebaik-baiknya, dan bahagialah. Pesanku untuk diri sendiri waktu itu (sampai sekarang). Suka masak dan pangan? Tiap hari bisa masak di rumah (di rumah terus, kan pandemi), eksplor masakan, ciptain resep aneh sendiri, debat soal bumbu di dapur, ya, jadiin masak dan pangan tadi sela ketika kamu suntuk dengan jurusan B (hahaha). Salah satu hal yang penting di hidup buatku adalah tidak menyesali yang sudah-sudah. Oke, menyesal untuk introspeksi dan lebih baik dalam menimbang kadar untung-ruginya di kemudian hari, tapi kebanyakan menyesal itu menyalahkan diri sendiri yang ujungnya bikin benci, ga bahagia, dan menjalani hal yang emang udah di depan mata dengan ga “sebaik-baiknya”. Seperti yang sering diucapkan John Watson di Sherlock, “It is what it is”, walau realitasnya begitu, bukan bearti jadi alasan kita ga bisa melanjutkan sesuatu (dengan sebaik-baiknya).