“Makin tahulah saya, bahwa didikan yang mula-mula itu bukan tidak besar pengaruhnya bagi kehidupan manusia di kemudian hari. Dan betapakah seorang ibu sanggup mendidik anak, bila mereka sendiri tidak berpendidikan?” (penyampaian pemikiran R.A Kartini).
Penyampaian tersebut tidak membuat perempuan di Indonesia sadar akan hal kewajiban berpendidikan bagi diri mereka sendiri. Semua terbukti di era modern saat ini, banyak dengan pengguna sosial media menghalalkan segala cara untuk mencapai keeksistensiannya dengan mengunggah video-vidio yang tidak beredukasi dan menjatuhkan orang lain. Sosial media memang mendekatkan yang jauh tapi membuat yang dekat saling tidak peduli. Hal-hal semacam ini perlu dibenahi karena inilah bibit genarasi mendatang. Apa yang terjadi jika generasi mendatang tidak memiliki rasa peduli terhadap sesama?.
Sosial media memang memiliki berjuta manfaat, tapi pernahkah kita membahas dampat negatif yang terjadi. Banyak dari para pengguna sosial melupakannya. Pengguna sosial media memang tidak dibatasi rentang usia, yang tua penasaran, yang muda cari kepopuleran. Ironisnya banyak anak dibawah umur yang sudah memiliki media sosial media. Pengguna yang masih dibawah umur seperti mereka harus mendapatkan perhatian ekstra dari orang tua, dengan banyaknya situs-situs yang mudah diakses dan tidak layak ditonton untuk usia mereka. Jika situs seperti ini berlangsung terus-menerus tanpa adanya tindak lanjut, maka dapat merusak mental anak bangsa. Zaman yang semakin modern memudarkan rasa peduli terhadap sesama, anak-anak akan cenderung bergantung pada gawai yang dimiliki dibanding bermain bersama kawan sebayanya.
Berdasarkan gender, pengguna sosial media ini didominasi oleh perempuan mencapai 51% dibanding pria hanya 49%. Perempuan cenderung lebih mementingkan popularitasnya di sosial media.[1] Sekedar membagikan aktivitas yang sedang dilakukan ataupun memamerkan barang-barang koleksinya seperti tas, sepatu, dan perhiasan. Mereka belomba-lomba mencari followers(pengikut) di sosial media yang mereka miliki untuk dijadikan acuan sebuah kepopulerannya. Banyak diantaranya menghalalkan segala cara untuk mencapai target kepopulerannya, seperti mengunggah foto-foto yang tak senonoh, ataupun menggunggah video transformasi dari rupa yang jelek menjadi cantik. Foto-foto maupun video yang mereka unggah, dapat diakses oleh semua pengguna media sosial, sehingga dapat memancing terjadinya hal yang kurang baik. Belum lama ini ada sebuah kejadian dimana siswi SMA menjadi orang ketiga di rumah tangga seseorang, bahkan memamerkan foto-foto syur mereka ke jejaringan tiktok. Terungkap bahwa alasannya adalah untuk membantu biaya kebutuhan sekolah. Bahkan Ketika sang istri secara terang-terangan menyindir kelakukan siswi tersebut, sikap dan kelakuan sang siswi tidak menunjukan rasa penyesalan dan permohonan maaf. Miris melihat perempuan zaman sekarang lebih yang tidak memiliki. Tuntutan ekonomi menjadi alasan utama ketika mereka ditanya mengapa mau melakukan pekerjaan tersebut.
Perempuan adalah tiang negara, jika perempuannya rusak maka hancurlah negara tersebut. Jika perempuannya rusak maka, bagaimana nasib bangsa kita kedepannya? Bukankah para perempuan yang akan melahirkan pemimpin dan penerus bangsa ini. Perempuan memiliki peran dan potensi besar untuk membentuk wajah masa depan suatu bangsa. Tentunya, masa depan yang lebih baik, cerah dan gilang-gemilang akan dapat hadir jika para perempuannya berkualitas. Maka ada suatu hal yang masuk akal bagi seluruh elemen bangsa untuk menaruh perhatian yang besar dalam upayanya untuk mencetak perempuan-perempuan berkualitas. Di zaman yang sudah modern seperti saat ini, masih ada yang memperlakukan wanita secara berbeda, maksudnya masih ada jarak antara hak laki-laki dan perempuan. Di desa masih banyak perempuan yang tidak diperbolehkan menempuh pendidikan formal dengan alasan, “Wanita itu tugasnya ngurus anak”. Lalu, bagaimana menciptakan generasi yag berkualitas jika sang pendidik dasarnya tidak memenuhi kualitas yang ada.
Klarifikasi perempuan yang berkualitas seperti, pertama, perempuan yang berkualitas adalah sosok yang cerdas dan terdidik. Perempuan berkualitas merupakan salah satu dasar untuk menciptakan generasi berkelas. Dari seorang perempuanlah manusia memperoleh didikannya; anak-anak belajar berbicara, berpikir, dan merasai sesuatu. Walaupun tanggung jawab pendidikan sang anak merupakan tugas kedua orang tua, seorang ibu memiliki intensitas kedekatan dan kelekatan yang lebih dengan sang anak, itu merupakan hal yang tidak bisa tergantikan. Perempuan berkualitas adalah perempuan yang terdidik, cerdas, dan yang paling utama berakhlaq dan burbudi mulia. Sehingga akan terlahir generasi yang cerdas pikirnya, baik pekertinya, dan terampil perbuatannya. Oleh sebab itu, pendidikan bagi perempuan harus terbuka dan ditingkatkan secara terus menerus. Kedua, perempuan berkualitas adalah sosok perempuan yang sadar akan potensi yang dimilikinya dan mampu mengembangkannya. Masa depan suatu bangsa ditentukan dari masing-masing manusianya, termasuk juga perempuannya. Kontribusi dapat berjalan maksimal jika sesuai dengan kemampuannya. Potensi dan kapasitasnya yang dimiliki oleh masing-masih individu. Perempuan berkualitas adalah sosok yang mampu berkontribusi bagi lingkungan dan bangsanya sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
Tetapi perempuan berkualitas yang ada di zaman sekarang, jauh memilih manjadi wanita berkarir dibanding mengurus anak, terkadang mereka menyewa pengasuh untuk merawat anaknya. Fenomena seperti ini membawa dampak psikologi bagi sang anak, seperti kurang perhatian dari orang tua, kurang kasih sayang dan membuat sang anak mencari perhatian dari lingkungannya, contohnya kenakan remaja yang marak terjadi saat ini, salah satunya dipicu oleh kurangnya perhatian dan kasih sayang yang diberikan orang tua.
Seorang ibu merupakan kunci keberhasilan seorang anak dan tentunya keberhasilan anak akan mempengaruhi sebuah negara. Seorang ibu wajib memiliki kecukupan ilmu pengetahuan untuk dapat mengarahkan anak-anaknya kepada kebaikan serta menjadi teladan bagi anak
[1] Menurut hasil riset nasional Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) dan Pusat Kajian Komunikasi Universitas Indonesia (UI) pada tahun 2014