Mengaku sedang depresi, stres, mengidap bipolar, bahkan menyebut diri sedang bermasalah kesehatan mental bisa membuat kita dilabeli stigma negatif. Belum lagi, orang-orang ini dihakimi dan dianggap tak dekat dengan Tuhan. Para penulis buku Pulih mendobrak stigma negatif itu dengan menuliskan cerita luka dan bagaimana mereka pulih dari masalah kesehatan mental.
Salah satu kisah yang membuat saya terenyuh dalam Pulih, adalah cerita tentang seorang penulis, yang hendak digugurkan ibunya sendiri. Ketika ia lahir, diangkat anak oleh kerabat. Dikasihi dan disayangi oleh orang tua angkatnya, ia selalu merasa ada yang kurang dalam dirinya. Apalagi ketika ia menyadari ternyata ia bukan anak kandung. Ia mengalami dihakimi secara religi dengan kata ini itu tanpa berusaha memahami dirinya.
“Pada kasusku, masalahku tak akan selesai karena permintaan maaf dari bapak-ibuku, mereka yang mengecewakanku, atau siapa saja. Hanya aku, yang bisa menghapus titik memori itu.” (Pulih, halaman 107).
Intan Maria Halim, founder Ruang Pulih, memberi catatan di akhir kisah tersebut. “Trauma bukanlah kesalahan kita, tetapi memaafkan, menerima, mencintai dan berterima kasih pada diri untuk terus pulih dari trauma adalah tanggung jawab dan keajaiban hidup yang bisa kita ciptakan.” (Pulih, halaman 108).
Buku Pulih merupakan kisah-kisah perjalanan bangkit dari masalah kesehatan mental. Bukan, isinya bukan sekadar cerita-cerita curhat dan menye-menye. Namun orang-orang yang berani mendobrak stigma negatif tentang kesehatan mental. Mereka menceritakan apa yang mereka alami, sampai di titik mana–bahkan ada yang sampai menjalani perawatan di rumah sakit jiwa karena skizofrenia, dan apa yang mereka lakukan untuk mengatasinya.
Tak hanya sampai di situ, mereka menceritakan detail perjuangan mereka, hingga ke titik memaafkan baik orang lain maupun diri sendiri, menerima keadaan diri, dan pulih. Ada catatan Intan Maria Halim, founder Ruang Pulih di akhir tiap kisah perjuangan bangkit dari masalah kesehatan mental ini.
Para kontributor penulis buku ini memang didampingi psikolog dari Yayasan Ruang Pulih dalam proses penulisannya. Para penulis mengalami pendampingan dan konseling bagaimana bangkit. Sesi pemulihan juga dituturkan, seperti menulis sebagai terapi, bersepeda, menggambar. Itulah yang menjadikan buku ini unik.