If only we could reject fruitless anxiety, and just think about the things of God and salvation, how much peace and tranquility we would have.
The Imitation of Christ (Thomas a Kempis), Book I, Chapter 20
Terjemahan saya:
“Kalau saja kita mampu menolak kecemasan yang sia-sia, dan hanya memikirkan perkara-perkara tentang Allah dan keselamatan, betapa besarnya kedamaian dan ketenangan yang akan kita miliki.”
Dunia modern rupanya mengondisikan manusia untuk menjadi cemas. Perekonomian di era kita bisa maju dengan cara menimbulkan kecemasan berlebih. Ingin menjual produk kecantikan? Buatlah para wanita tidak percaya diri dengan penampilan mereka. Berbisnis gawai elektronik? Buat orang berpikir mereka akan ketinggalan zaman bila tidak segera upgrade. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Komunitas rohani pun tidak lepas dari kecemasan ini. Komunitas mungkin merasa insecure bila kegiatan tampak kurang banyak, nama kurang dikenal, doa kurang panjang, donasi kurang besar, dan sebagainya, semuanya berbalut keyakinan “berlomba-lomba melayani”. Namun, benarkah kita melayani Allah? Ataukah pencapaian komunitas telah menjadi alat menghibur diri sendiri, bahwa “saya sudah berbuat baik”?
Cemas yang pas kadang perlu sebagai motor penggerak. Tetapi, cemas bisa diam-diam bergeser ke arah yang sia-sia. Bersamanya, bergeser pula motivasi dan tujuan kita. Tahu-tahu, kita sudah berada di tengah pusaran labirin yang menyesatkan dan mengaburkan identitas kita.
Tuhan telah mengingatkan bahwa “hanya satu saja yang perlu” (Luk 10:42), yakni persatuan dengan-Nya. Dialah satu-satunya yang kita perlukan, Dialah satu-satunya sukacita dan damai sejahtera.
Dosa menyebabkan manusia memiliki kecemasan dasariah (basic anxiety) yang terus menghantuinya sepanjang hidup. Tetapi Tuhan menawarkan pelabuhan baru untuk kecemasan tersebut, yaitu keselamatan dan kebahagiaan kekal bersama-Nya.
Apakah cemas sehari-hari kita sudah selaras dengan jalur pelabuhan ini? Masihkah kita mencemaskan hal-hal yang tidak membawa kita menuju keselamatan jiwa?