Kereta Api Purwojaya melesat lincah di atas rel menuju Stasiun Gambir Jakarta melewati hamparan hijau luas sawah di sisi kanan dan kiri.
Sore hari itu, langit terlihat mulai kemerahan menandakan tidak lama lagi sang surya akan pamit tenggelam ke ufuk barat.
Udara terasa mulai dingin menusuk kulit di dalam gerbong kereta, tersebab hari yang kian gelap ditambah pendingin ruangan di gerbong kereta yang terus menyala.
Penumpang di dalam kereta yang melesat itu menikmati perjalanan sore hari itu dengan bermacam cara.
Ada yang dengan khidmat menikmati pemandangan sepanjang perjalanan, ada yang asik dengan smartphone-nya masing-masing, menyantap hidangan makananan dengan lahap, tertidur pulas, atau terlibat dalam obrolan ringan hingga dalam.
Saya dan suami salah dua dari penumpang tersebut.
Bekal makanan kami sudah habis beberapa jam yang lalu.
Sedangkan mata rasanya enggan untuk terpejam dalam tidur, seakan tidak mau melewatkan barang sedetik pun pemandangan indah yang tidak akan ditemukan di Jakarta itu.
Terkadang kami memperhatikan suasana di dalam kereta, dan sering terenyuh pada polah anak kecil dan balita yang sering menggemaskan.
“Kita kapan ya punya anak?” ujar saya pada suami.
Kalimat tersebut memang hampir sering saya lontarkan setiap melihat anak kecil di mana pun.
Harus diakui, kalimat itu kadang seperti ungkapan frustasi saya karena kami yang sekian tahun belum dikaruniai seorang anak.
Tapi kali ini saya mengucapkannya dengan tersenyum gemas karena melihat seorang balita yang digendong oleh ibunya.
“Kamu harus paham dulu konsepnya,” ujar suami dengan aura bijaksananya yang khas. “Bahwa keberlanjutan peradaban manusia itu sudah diatur sedemikian rupa oleh Allah SWT; di Indonesia akan lahir berapa juta jiwa, di Amerika berapa juta, dan seterusnya.
Nah, dari jutaan jiwa itu, yang memang disiapkan sebagai pengganti generasi yang sekarang, Allah titipkan di rahim perempuan-perempuan yang sudah diatur sedemikian rupa. Apakah di rahim perempuan A, B.
Sebenarnya saat diamanahkan anak, anak tersebut bukan hanya Allah titipkan semata sebagai anak kita saja, ada peran yang lebih besar daripada itu: mengemban tanggung jawab sebagai generasi penerus, lebih jauh lagi sebagai keberlanjutan peradaban manusia tadi.
Saat Allah titipkan anak, artinya anak-anak tersebut lah yang nantinya akan menggantikan kita menghuni bumi ini. Segala kepemimpinan, nasib di masa depan, dan segala tanggung jawabnya ada di pundak mereka.
Kita sebagai orang tua yang diamanahkan anak tersebut, juga punya andil tanggung jawab atas keberlangsungan nasib masa depan melalui kapabilitas kita merawat dan mendidik mereka menjadi sosok individu yang hebat dan bertanggung jawab.
Agar jangan sampai, anak kita kelak justru menjadi beban atau pembawa kerusakan di generasinya dan generasi setelahnya.
Syukur-syukur kalau anak kita bisa menjadi pemimpin yang membawa perubahan dalam kebaikan di generasinya.
Jadi, mempunyai anak bukan hanya sekedar lucu-lucuan apalagi bangga-banggan, tapi kita harus paham hakikat di balik dititipkannya anak pada kita oleh Yang Mahakuasa, yaitu tanggung jawab besar yang juga menyertainya.”
Aku tertegun. Ucapan suami seperti telah menghipnotis saya untuk memikirkan lebih dalam tentang hakikat menjadi orang tua.
Dalam diam saya bersyukur belum dikaruniai anak di saat saya belum paham apa-apa tentang tanggung jawab besar yang menanti sebagai orang tua.
Bahkan saya tidak yakin apakah saya akan menjadi orang tua yang baik bagi anak-anak calon penerus generasi selanjutnya.
Meski pun memang untuk menjadi orang tua tidak harus merasa terlalu dibebani oleh hal tersebut.
Lalu demi mewujudkan niat baik kami untuk menjadi orang tua bagi hamba-hamba yang akan menyembah-Nya kelak, adalah dengan meningkatkan doa dan usaha kami untuk menjadi orang tua yang baik.
Kereta api pun terus melesat maju menuju stasiun-stasiun berikutnya, bersamaan dengan saya yang terus merenung dalam seraya menatap jauh ke luar jendela kereta.