saya pun punya cerita dalam mempertahankan pernikahan, di mana kami mulai kehilangan arah yang sama dalam menjalani pernikahan karena tekanan kehidupan.
Dalam momen tersebut, rasanya pernikahan sudah tak lagi seperti harapan saya dan (mungkin juga si pak suami).
Karena jalannya yang sudah beda, jadinya kami mulai terbiasa menjalani hari masing-masing, meskipun selalu ketarik lagi dalam satu jalan, karena… anak-anak.
Ini bahasanya halus banget yak, wakakakak.
Maksudnya saya dan paksu itu nggak harmonis lagi, terutama sejak anak kedua kami lahir. Meskipun sebelumnya juga pernah punya masalah serupa, tapi ternyata kami bisa memperbaikinya.
Entahlah, mungkin karena tekanan kehidupan kali ya, yang membuat kami, yang dulunya mau menikah tuh rempongnyaaaa baru bisa tercapai, eh malah sekarang jadi jalan sendiri-sendiri, hahaha.
Dalam perjalanannya sampai saya bisa menulis setenang ini, banyak luka dan mental down banget dah. Dan itulah yang terekam di beberapa status facebook, dan banyaaaakk tulisan blog saya.
Karena itulah, banyak temans yang menyarankan agar saya cerai saja, sayangi mental sendiri. Dan berkali-kali juga saya katakan, kalau bercerai itu sebijaknya tidak dilandasi oleh modal nekat semata.
Ada banyak hal yang harus dipersiapkan, apalagi kalau niat cerainya buat bahagia kan ye.
Pada kenyataannya, bercerai tidak bisa dengan mudah dilakukan semua orang, bukan karena takut status janda. Tapi sebagai bentuk pertanggung jawaban saya kepada orang tua maupun anak-anak saya.
That’s why, untuk saat ini, meski ketenangan saya tidak bisa dikatakan diraih dari pernikahan yang sehat. Tapi saya tetap memilih untuk mempertahankan buku nikah, terlebih karena pak suami juga tak pernah lagi membahas tentang menyerah pada pernikahan.
Jadi, setidaknya saya punya modal, bahwa yang mempertahankan pernikahan bukan saya semata, tapi juga pak suami. Meskipun dia cuman bertahan aja, tapi ya gitu-gitu aja, wakakakak.
Selengkapnya di blog parentingbyrey.com tentang mempertahankan pernikahan