fbpx

Transkrip Podcast Sepiring Narasi Rasa S2E4: Makanan dalam Buku Esai Virginia Woolf dan Nora Ephron

[Dengarkan episode ini di Spotify dengan klik link ini]

Halo, asalamualaikum!

Kamu sedang mendengarkan podcast Sepiring Narasi Rasa, sebuah podcast seputar buku dan kuliner, di mana narasi tulisan bertemu dengan cita rasa makanan.

Podcast Sepiring Narasi Rasa diproduksi dan dipandu oleh saya, Diar, seorang penyuka buku dan juga penyuka makanan. Kalau kamu juga suka buku dan kuliner, pastikan untuk follow atau subscribe podcast ini, ya.

Langsung saja kita mulai podcast Sepiring Narasi rasa, sekarang!

Selamat datang di episode ke-4 untuk musim kedua podcast Sepiring Narasi Rasa! Di episode ini, mari kita ngobrol soal elemen makanan dalam dua buku nonfiksi, yang secara spesifik adalah buku esai, karya dua penulis wanita dari era yang berbeda sekaligus dari negara yang berbeda.

Buku esai pertama berjudul A Room of One’s Own yang ditulis oleh penulis asal Inggris, Virginia Woolf. Atau yang versi terjemahan bahasa Indonesianya berjudul Ruang Bagi Perempuan.

Buku kedua, I Feel Bad About My Neck: And Other Thoughts on Being a Woman, karya Nora Ephron dari Amerika Serikat. Versi terjemahan Indonesianya sendiri berjudul Leher: Musuh #1 Wanita.

Di antara dua penulis wanita yang saya sebutkan barusan, mungkin hanya nama Virginia Woolf yang paling familiar bagi pembaca Indonesia, terutama dengan novelnya yang berjudul Mrs. Dalloway. Tapi bagi pemerhati dan penyuka film—khususnya film romcom atau romantic comedy atau komedi romantis, mungkin juga familiar dengan nama Nora Ephron.

Dua buku esai yang akan kita bicarakan ini sama sekali tidak menjadikan makanan sebagai tema utama karya mereka. Namun, dengan kecerdasan sang penulis dalam menyusun narasi, elemen makanan yang hanya muncul beberapa kali di dalam buku mereka justru tetap terasa signifikan.

Yuk, kita bahas saja satu demi satu.

*

Buku esai pertama: A Room of One’s Own karya Virginia Woolf.

Buku terbitan tahun 1929 ini berisi esai Virginia Woolf yang dikembangkan dari dua ceramah yang disampaikannya pada 1928 di Newnham College dan Girton College, keduanya college khusus wanita di Cambridge, Inggris.

Virginia Woolf yang lahir tahun 1882 ini dianggap sebagai salah seorang tokoh sastra modern berpengaruh di abad ke-20 dan juga dianggap sebagai seorang tokoh feminis. Esainya, A Room of One’s Own, termasuk salah satu contoh yang sering dikategorikan sebagai karya tulis feminis.

Esai tersebut menyodorkan topik utama tentang perlunya penulis wanita, menurut Virginia Woolf, untuk menjadi independen secara finansial dan untuk memiliki ruang sendiri (“a room of one’s own”) dalam berkarya. Istilah “a room of one’s own” ini banyak ditafsirkan sebagai sebuah metafora dari kebebasan intelektual, meski di dalam esai itu pun Woolf juga memaparkan “a room of one’s own” secara literal, karena di masa Woolf hidup wanita hanya boleh menulis di ruangan terbuka di dalam rumahnya dan bahkan orang lain bebas melihat apa yang sedang ditulisnya.

Elemen makanan, meski tak banyak, turut dimunculkan di dalam esai A Room of One’s Own, dan dalam narasi yang meninggalkan kesan pula.

Contohnya saat Woolf ingin menunjukkan fenomena keengganan sebagian novelis di masa itu dalam menggambarkan kehadiran nama-nama makanan di dalam karya sastra:

“It is a curious fact that novelists have a way of making us believe that luncheon parties are invariably memorable for something very witty that was said, or for something very wise that was done. But they seldom spare a word for what was eaten. It is part of the novelist’s convention not to mention soup and salmon and ducklings, as if soup and salmon and ducklings were of no importance whatsoever . . .”

Contoh lain yang paling menonjol adalah saat Woolf memasukkan unsur makanan untuk menunjukkan perbedaan makanan yang dihidangkan antara di college khusus pria dan di college khusus wanita di Cambridge dan Oxford pada masa itu. Ia menuliskan satu contoh jamuan makan siang di sebuah college khusus pria yang mana saat itu dirinya tidak diundang, melainkan diminta untuk tidak menginjak rumput di sana:

“. . . the lunch on this occasion began with soles, sunk in a deep dish, over which the college cook had spread a counterpane of the whitest cream, save that it was branded here and there with brown spots like the spots on the flanks of a doe.”

Menu dilanjutkan dengan hidangan, yang dalam kata-kata Woolf:

“The partridges, many and various, came with all their retinue of sauces and salads, the sharp and the sweet, each in its order; their potatoes, thin as coins but not so hard; their sprouts, foliated as rosebuds but more succulent.”

Makan siang di sana diakhiri dengan makanan penutup atau dessert berupa, Woolf bilang, “. . . a confection which rose all sugar from the waves. To call it pudding and relate it to rice and tapioca would be an insult. Meanwhile, the wineglasses had flushed yellow and flushed crimson; had been emptied; had been filled…how good life seemed, how sweet its rewards . . .”

Sementara di satu jamuan makan malam di sebuah college khusus wanita, para mahasiswi dihidangkan makanan pembuka berupa sup yang saking beningnya hingga bahkan bagian dasar mangkuknya terlihat jelas, Woolf menyebutnya sebagai “a transparent liquid”.

Katanya, “It was a plain gravy soup. There was nothing to stir the fancy in that.”

Hidangan utamanya berupa daging sapi yang dalam deskripsinya, “Next came beef with its attendant greens and potatoes—a homely trinity, suggesting the rumps of cattle in a muddy market, and sprouts curled and yellowed at the edge….”

Hidangan penutupnya? Prune atau buah plum kering dengan custard, yang disusul dengan biskuit kering, keju, dan air putih. Dalam kata-kata Woolf:

“And if anyone complains that prunes, even when mitigated by custard, are an uncharitable vegetable (fruit they are not), stringy as a miser’s heart and exuding a fluid such as might run in misers’ veins who have denied themselves wine and warmth for eighty years and yet not given to the poor, he should reflect that there are people whose charity embraces even the prune. Biscuits and cheese came next, and here the water-jug was liberally passed round, for it is the nature of biscuits to be dry, and these were biscuits to the core. That was all.”

Setelah melihat kenyataan itu, akhirnya muncullah kutipan berikut yang mana kalimat terakhirnya menjadi salah satu kutipan Virginia Woolf yang paling terkenal:

“The human frame being what it is, heart, body, and brain all mixed together… a good dinner is of great importance. One cannot think well, love well, sleep well, if one has not dined well.

Dan muncul pula pertanyaan-pertanyaan terkait, dalam tanda kutip, ‘diskriminasi’ tersebut melalui kutipan lain berikut:

“Why did men drink wine and women water? Why was one sex so prosperous and the other so poor? What effect has poverty on fiction? What conditions are necessary for the creation of works of art?—a thousand questions at once suggested themselves.”

Woolf, melalui narasinya tentang makanan di dalam esainya, mampu menunjukkan pentingnya makanan untuk mendukung berkarya, meski makanan sendiri di masa itu termasuk topik yang, dalam tanda kutip, ‘remeh’.

*

Beralih ke buku esai yang kedua: I Feel Bad About My Neck: And Other Thoughts on Being a Woman yang ditulis oleh Nora Ephron dan diterbitkan pada tahun 2006.

Di masa hidupnya, Nora Ephron dikenal sebagai jurnalis, penulis buku serta, penulis naskah dan sutradara sejumlah film di Amerika Serikat. Penyuka film komedi romantis mungkin tahu dan masih ingat karya-karyanya; contohnya yang paling terkenal adalah When Harry Met Sally, Sleepless in Seattle, You’ve Got Mail, dan Julie & Julia.

Buku I Feel Bad About My Neck merupakan kumpulan esai Nora Ephron yang sebagian besarnya memiliki benang merah dengan tema “aging” atau pertambahan usia, khususnya bagi wanita, selain juga berbicara tentang persahabatan, tentang pernikahan, tentang perceraian, tentang karir, dan tentang menjadi orang tua dari anak yang sudah dewasa.

Seperti film-film yang ditulis dan/atau disutradari olehnya, juga seperti buku-bukunya yang lain, buku ini tentunya berisi narasi cerdas yang diwarnai oleh humor yang menyenangkan. Sebagian orang, termasuk saya bahkan, bila dibaca dalam berbagai ulasan buku di internet, diam-diam berharap bisa menulis secerdas dan selucu seorang Nora Ephron.

Serupa dengan buku A Room of One’s Own, buku I Feel Bad About My Neck ini juga berisi beberapa elemen makanan yang, walau tidak banyak, dituliskan dalam narasi yang berkesan bagi pembaca.

Contohnya dalam kutipan berikut, di mana Nora bicara tentang karbohidrat sebagai bagian dari hidup:

“Here are some questions I am constantly noodling over: Do you splurge or do you hoard? Do you live every day as if it’s your last, or do you save your money on the chance you’ll live twenty more years? Is life too short, or is it going to be too long? Do you work as hard as you can, or do you slow down to smell the roses? And where do carbohydrates fit into all this? Are we really all going to spend our last years avoiding bread, especially now that bread in America is so unbelievable delicious? And what about chocolate?”

Di salah satu esainya, Nora juga menceritakan pengalamannya mencari pengganti makanan kesukaannya yang, dalam tanda kutip, ‘hilang’ karena tak lagi diproduksi oleh sebuah toko pastry Hungaria di New York, yaitu cabbage strudel (strudel kubis). Dirinya bahkan tidak berhasil mengkreasikan ulang makanan tersebut di dapurnya sendiri. Suatu pengalaman yang sederhana, namun dibuat menyenangkan dalam narasi Nora Ephron.

Sedikit kutipan dari pengalaman tersebut:

“The truth is, most of the genuinely tragic episodes of lost food are things that are somewhat outside the reach of the home cook, even a home cook like me who has been known to overreach from time to time.”

Persoalan kehilangan makanan dan/atau tempat makan favorit juga disinggungnya sedikit di kutipan lain:

“Things change in New York; things change all the time. You don’t mind this when you live here; when you live here, it’s part of the caffeinated romance to this city that never sleeps. But when you move away, your experience change as a betrayal. You walk up Third Avenue planning to buy a brownie at a bakery you’ve always been loyal to, and the bakery’s gone. Your dry cleaner move to Florida; your dentist retires; the lady who made the pies on West Fourth Street vanishes; the maitre d’ at P.J. Clarke’s quits, and you realize you’re going to have to start from scratch tipping your way into the heart of the cold, chic young woman now at the down.”

Nora Ephron beberapa kali menyebut-nyebut tentang kegemarannya memasak, termasuk dengan berbekal resep dari buku masak pemberian ibunya saat dirinya berusia 16 tahun, seperti dalam kutipan berikut:

“I especially like making her roast beef dinner, which is very much like my mother’s except for the yorkshire pudding. My mother didn’t serve yorkshire pudding, although there is recipe for it in The Gourmet Cookbook. My mother served potato pancakes instead. I serve yorkshire pudding and potato pancakes. Why not? You only live once.”

Atau dalam kutipan lain lagi:

“If I was home alone at night, I cooked myself an entire meal from one of these cookbooks. Then I sat down in front of the television set and ate it. I felt very brave and plucky as I ate my perfect dinner. Okay, I didn’t have a date, but at least I wasn’t one of those lonely women who sat home with a pathetic container of yogurt. Eating an entire meal for four that I had cooked for myself was probably equally pathetic, but that never crossed my mind.”

Dan kutipan terakhir ini bisa menyimpulkan pentingnya makanan dalam hidup seorang Nora Ephron, yang sekaligus juga disarankannya bagi pembaca buku ini:

“The point (I was starting to realize) was about putting it together. The point was making people feel at home, about finding your own style, whatever it was, and committing to it. The point was about giving up neurosis where food was concerned. The point was about finding a way that food fit into your life.”

Sekali lagi, di tangan penulis yang tepat, tema makanan, meski bukan tema utama dalam sebuah karya, ternyata mampu menggugah pembaca dalam berbagai cara.

Seperti Virginia Woolf yang menyisipkan unsur makanan ke dalam esainya secara, dalam tanda kutip, ‘politis’.

Atau seperti Nora Ephron yang mampu menghidangkan elemen makanan ke dalam buku kumpulan esainya dengan memberikan perasaan yang “relatable” dan juga membangkitkan nostalgia.

Terima kasih sudah mendengarkan dan menyimak podcast Sepiring Narasi Rasa episode ke-4 ini. Semoga sedikit-banyaknya memberi manfaat, ya.

Judul-judul buku yang disebutkan di dalam episode ini bisa dipinjam di perpustakaan digital, salah satunya Internet Archive di www.archive.org. Atau bila kamu ingin punya buku fisiknya, kamu bisa beli di toko buku online yang link-nya sudah disematkan di dalam transkrip podcast ini.

Sebagai disclaimer, link buku-buku tersebut merupakan link afiliasi, yang artinya jika kamu membeli buku atau barang lain melalui link itu, maka saya akan menerima sedikit komisi.

Bila kamu menyukai episode atau podcast ini, saya akan senang sekali kalau kamu bersedia follow atau subscribe podcast Sepiring Narasi Rasa dan memberikan review bintang positif. Silakan juga share atau bagikan di media sosial kamu, ya.

Untuk tetap terkoneksi dan untuk mendapatkan update episode terbaru dari podcast ini, kamu bisa kunjungi dan/atau follow Instagram saya, @diarhafsari.

Sekali lagi terima kasih, sampai jumpa di episode berikutnya, dan tetap terus membaca sambil menikmati makanan kesukaanmu. Wasalamualaikum!

[Dengarkan episode ini di Spotify dengan klik link ini]

Link untuk membeli buku yang disebutkan di dalam episode ini:

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Diar Adhihafsari
Reading enthusiast • Freelance writer • Instagram: @diarhafsari

Halo, !

Categories

More than 3500 female bloggers registered

PT. PEREMPUAN DIGITAL INDONESIA
Cyber 2 Tower 11TH Floor JL HR Rasuna Said Jakarta Selatan

tagcalendar-full
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram