EMPAT HARI LALU—saat kertas yang kini lecek akibat terlalu sering diremas itu tiba dalam genggamannya—kepalanya pun riuh mempertanyakan untuk apa ini.
Mengantre di bazar universitas yang menjual pernak-pernik keperempuanan sangat bukan Paula. Dia sendiri jijik membayangkan benda-benda itu menempel di bagian tubuhnya.
Jadi, Paula paham akan pandangan orang yang mengerutkan kening, memicingkan mata, pun memancarkan ekspresi bertanya dari sorot mereka, kendati tak berani menyuarakan apa-apa. Kehadirannya di sini sudah menjadi suatu tanda tanya.
Mereka mungkin ingin melisankan kalimat serupa:
“Ternyata suka benda-benda beginian juga?”
Paula tahu persis jawabannya apa. Tidak pernah, dan tidak akan pernah. Namun, kupon gratis-pilih-apa-pun-di-bazar-aksesoris-universitas-hingga-nominal-seratus-ribu yang dia peroleh sebagai pengunjung ke seratus, terlalu sayang untuk dijejalkan ke dalam kotak sampah.