Judul: Willodeen
Penulis: Katherine Applegate
Ilustrator: Charles Santoso
Penerbit: Feiwel & Friends
Cetakan: September 2021
ISBN: 978-1-25014-740-0
Tebal: 272 hlm.
Rating:
The earth is old and we are not, and that is all you must remember.
Willodeen suka binatang. Semakin jelek dan remeh binatang itu, ia semakin suka. Terutama, dia menyukai binatang mirip babi hutan buruk rupa yang disebut screecher. Namun, warga desa yang lain benci screecher. Selain memiliki cakar dan taring yang menakutkan serta lolongan yang mengganggu, screecher juga menghasilkan gas berbau busuk yang menempel terus ke pakaian. Warga jauh lebih mencintai binatang imut hummingbear yang bermigrasi ke desa mereka setiap tahun. Hummingbear menjadi primadona karena kedatangan mereka mengundang banyak turis yang ingin menonton. Akan tetapi, tahun ini tidak satupun hummingbear datang. Warga mulai khawatir. Akankah mereka mesti melewati musim dingin dalam kelaparan? Apakah Willodeen, si anak aneh pecinta binatang bau itu, dapat menemukan jalan untuk mengembalikan hummingbear ke desanya?
The more I watched and listened and stayed quiet and still, the more I understood the way of things.
Willodeen, seperti cerita-cerita dongeng lainnya, berlatar dunia yang sekilas nampak wajar dan familiar, tetapi menyembunyikan detil-detil magis dan tidak biasa. Tokoh Willodeen adalah manusia, berasal dari keluarga manusia, tinggal di desa manusia yang memiliki rel kereta dan pabrik pengolahan kayu. Namun, rumah mereka terbuat dari gelondong kayu dan lumpur, para pria masih berburu menggunakan panah, dan sekolah bukanlah hal yang diprioritaskan.
Willodeen sendiri adalah anak berusia 11 tahun yang pemberani dan berjiwa peneliti, tetapi pendiam dan sulit percaya pada orang lain. Ia mengalami PTSD (post-traumatic stress disorder) akibat menyaksikan seluruh keluarga kandungnya tewas dalam kebakaran hutan yang merembet ke rumah penduduk. Ia kini tinggal bersama sepasang wanita tua. Willodeen menghabiskan waktu mengurus rumah dan peternakan kedua wanita itu, serta berjalan-jalan di hutan, mengamati dan mencatat ragam fauna yang ia jumpai.
Karakter Willodeen dibangun dengan cukup baik, walau agak klise karena menggunakan pola βpahlawan-yang-dikucilkan-oleh-orang-sekitarnya-lalu-membuktikan-bahwa-mereka-semua-salahβ. Tapi perkembangan karakter Willodeen tampak jelas. Kita bisa melihat di akhir cerita bahwa, seiring dengan kepercayaan dirinya yang menyeruak bagi dahan-dahan muda yang kuat, gejala PTSD-nya lambat laun mereda dan ia mulai bisa berdamai dengan peristiwa kehilangan di masa lalunya.