Kutatap dalam-dalam cermin besar yang ada di depanku kini. Cermin ini sengaja kutaruh di sudut ruangan, kusembunyikan ia dari hiruk-pikuk beragam benda. Kuberikan porsi khusus sebagai yang teristimewa. Ia yang paling jujur berbicara, ia yang paling jujur mendengar, ia yang paling jujur memantulkan dan mendeksripsikan.
Ada seorang perempuan kecil tengah berdiri menatapku juga di sana. Aku tersenyum. Ia juga tersenyum meski dengan raut wajah yang berantakan. Kami sama-sama tersenyum meski dengan beragam jenis tatapan yang sulit dideskripsikan. Nanar. Sendu. Sayu. Bahkan kosong.
“Bagaimana kabarmu?” kutanya kalimat yang dianggap basa-basi oleh sebagian orang ini dengan sungguh-sungguh. Bagiku, ini menjadi pertanyaan sangat penting dan harus kulontarkan. Aku tak sabar mendengar jawabannya.
“Baik dan tidak baik,” ia kembali tersenyum dengan wajah pucat. Perempuan ini ingin mengabarkan dirinya sedang tidak baik, tetapi masih bisa ia lalui dengan baik, atau setidaknya, masih waras hingga hari ini.
Tak butuh waktu lama, kami menitikkan air mata. Kantong mata yang makin besar dan hitam itu mungkin siap menjadi saksinya. Lama-lama, kami menangis hingga sesenggukan. Lama sekali.