kutuangkan segelas fatamorgana berbalut puisi di atas selembar kertas usang. kali ini bukan perihal rindu yang enggan bersinggungan dengan temu, bukan pula perihal sendu yang meretas utas sukacita nan teramat ringkih. tetapi ini tentang aku dan kau. kau, yang kupikir atensinya sukar \’tuk tergapai, jua tabiat yang kusangka abai.
anak panah berbekal terka tak tepat sasaran. keburukan yang belakangan ini bergerak riuh dalam ketakutan telah hilang dari pandangan. kau begitu memahami rasaku yang kupikir segera mati terbunuh kehendak tuhan. sejatinya yang terjadi kini adalah; tatapku dan tatapmu saling bersinggungan, disandingi dengan raga yang bergandengan tak kenal bosan \’tuk diemban. kita, dua insan yang hingga kini sedang menyulam harapan.
mengapa bisa?
semua berawal sari senja kemarin sore. kutorehkan aksara sunyi pada selembar kertas usang dengan hati yang gemersik ketakutannya begitu berisik. sebegitu maunya aku. setidaknya aku ingin kau mendengar apa yang selama ini terpatri di dalam dadaku. meski telaga harapan begitu mustahil untuk kuarungi birunya, tetapi harapku hanyalah satu; aku ingin dirimu tahu.
berakhir membuat dirimu dihinggapi pasukan tanya yang berlabuh pada ruang kepala sebab kita tak saling bersua. ah, iya, surat picisanku hanya sampai melalui perantara. keberanianku tak sekentara itu.
“balas pesanku kalau kamu sempat, ya? sebut saja jingga.”
tulisku pada baris akhir. padahal, paragraf pembuka pun belum tentu kau baca.
dalam dada aku merapal do’a. segala kemungkinan digurat meski tak kenal pasti. jika engkau sama sekali tak berkenan \’tuk memberi yang serupa, aku tak apa.