“Mama, Maafkan Taqi dan Ariq Ya… Dulu Mama senang bisa kerja sambil jalan-jalan ke luar negeri. Karena ada Taqi dan Ariq, Mama harus berkorban. Mama jadi banyak di rumah, beres-beres rumah, memasak, ajak main Taqi sama Ariq. Mama bangun paling pagi dan tidur paling malam. Mama nggak bisa lagi ke luar negeri. Taqi sama Ariq jahat ya Ma?” Putraku tersedu-sedu.
Apa? Berkorban kamu bilang, Nak? Itu pilihan Mama, atas izin Ayah kalian.
Nak, hidup itu ada fasenya. Dulu, saat Mama belum menikah, Mama leluasa mengejar mimpi. Juga melakukan apa pun yang disukai. Sepertinya tidak ada beban. Mama bersyukur sekali Allah hadirkan kesempatan itu.
Namun, hidup nggak bisa begitu-begitu saja. Mama harus naik kelas. Ketika Mama menikah, tentu nggak bisa berlaku dan memiliki cara pikir seperti perempuan lajang.
Jika Taqi bilang Mama berkorban untuk kalian, maka itu wajar. Namun ingat, Ayah pun melakukan pengorbanan yang tak kalah besar. Ayah pernah bekerja di dua tempat demi bisa menghidupi kita dengan layak. Berdamai dengan tempat kerja yang berganti-ganti. Juga menghadapi orang-orang yang gemar menyakiti hati.
Menjadi orang tua itu harus siap lebih lelah. Harus siap mengorbankan kesenangan dan kebebasan yang dulu dimiliki. Lantas, apa kami tidak bahagia?
Semakin ke sini, Mama semakin sadar. Bahagia itu bukan karena bekerja di tempat bonafide dengan gaji besar. Bahagia juga bukan karena bisa leluasa workliday ke luar negeri atau daerah lain di Indonesia. Saat ini, Mama bahagia melihat keluarga Mama sehat dan ceria.
Betapa syukur itu meluncur tinggi-tinggi melihat Taqi, Ariq, dan Ayah tidur dengan lelap. Tidur dengan perut kenyang dan baju yang bersih. Bahagia sekali bisa menjalani peran sebagai ibu dari dua anak yang Allah berikan. Meski memang, sering kali masih ada keluh kala diri dihujani peluh. Semoga Allah tambah kesabaran dan keikhlasan Mama ya.