Disebuah tepian telaga sepasang kekasih muda yang sudah bertunangan sedang berdiskusi tentang rencana dan kehidupan rumah tangga mereka di masa yang akan datang. Di akhir pembicaraan, sang laki-laki mengajak tunangannya untuk melihat kejutan rumah yang sudah dpersiapkan pemuda ini untuk pasangannya. Perempuan mana yang tidak bahagia jika diberi kejutan yang demikian? Padahal tadinya ia berfikir jika setelah menikah nanti harus tinggal di kontrakan juga tidaklah mengapa yang penting bisa mandiri dan saling mencintai. Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya sang wanita mengucapkan terima kasih kepada tunangannya dan semakin tidak sabar untuk melihat rumah masa depan mereka nantinya.
Begitu akan mendekati lokasi rumah, sang laki-laki tiba-tiba menghentikan kendaraan mereka dan meminta tunangannya untuk menutup mata. Lalu laki-laki ini menutup mata tunangannya dengan selembar kain untuk menambaj nuansa kejutan setelah berada di dalam rumah nanti. Lalu perjalanan mereka menuju rumah impian pun dilanjutan. Dengan jantung berdebar-debar sang perempuan mengikuti belokan demi belokan menuju lokasi rumah dimaksud dengan mata tertutup. Setelah tiba, perlahan namun pasti sang perempuan dituntun menaiki tangga rumah dan sampailah di dalam ruang tamu, hingga ke ruang tengah. Lalu sang laki-laki tunangannya ini menjelaskan setiap detail rumah kepada perempuannya yang dalam kondisi matanya masih tertutup kain. Tiba-tiba sewaktu menjelaskan, sang laki-laki baru ingat bahwa kunci kamar tidur rumah impian mereka ini masih tertinggal di dalam mobil. Lalu ia meminta perempuan tunangannya ini untuk menunggu sejenak di ruang tengah sambil mata tertutup, sampai sang laki-laki kembali dengan kunci kamar tidur mereka kelak.
Seperginya sang laki-laki keluar untuk mengambil kunci, sang perempuan ini merasakan sesuatu yang mendesak di dalam pencernaannya untuk segera dikeluarkan alias mau kentut. Rupanya sejak di dalam mobil tadi dia sudah menahan-nahan untuk tidak buang angin karena malu. “inilah saat yang tepat,” pikirnya, mumpung laki-laki tunangannya sedang keluar rumah dan di dalam rumah ini mungkin tidak ada orang lain kecuali dirinya saja. Lalu dengan penuh percaya diri, sang perempuan ini membuang angin sekeras-kerasnya dan sepuas-puasnya dengan lekas sebelum laki-laki tunangannya kembali ke rumah. Setelah selesai membuang hajat, lalu perempuan ini mencium bau yag kurang sedap. Supaya tidak ketahuan, dia mengibas-ngibaskan roknya untuk menghalau bau yang kurang sedap tersebut, agar tidak tercium oleh laki-laki tunangannya nanti. Pengibasan bau yang tidak sedap ini pun dilakukan dengan sangat cepat dan cekatan. Akhirnya terdengar langkah kaki memasuki ruangan, dan itu langkah kaki sang laki-laki pujaan hati. Sang perempuan tunangannya ini pun lega karena “semua yang terpendam” sudah selesai dituntaskan sebelum tunangannya kembali.
Maka dengan senyum dan sambil minta maaf sudah menunggu, sang laki-laki membuka kain penutu mata sang perempuan tunangannya ini untuk dibawa melihat kamar tidur mereka. Alangkah terkejutnya sang perempuan ketika matanya dibuka, ternyata di ruang tengah tersebut rupanya sudah berkumpul seluruh keluarga besar sang laki-laki yang sudah berada di ruang tengah sejak mereka masuk tadi. Seketika perempuan ini pingsan!
Kehidupan manusia bagaikan “buku yang terbuka”. Tingkah dan perilaku yang muncul ke permukaan bagaikan fenomena gunung es yang tampak muncul keluar, padahal bagian bawah yang tersembunyi justru sangat besar dan dalam. Tingkah laku yang muncul merupakan gambaran karakter yang sesungguhnya. Seorang filsuf pernah mengatakan bahwa karakter sorang adalah apa yang dilakukannya ketika tidak ada seorang pun yang tau, kecuali dia dan sang Sang Khalik. Herannya lagi, orang bisa berbuat apa saja tanpa rasa takut kepada Sang Khalik Yang Maha Tahu, karena beranggapan mungkin Sang Khalik sedang “tidur atau “tidak Melihat”.
Karakter kita dibentuk oleh kebiasaan-kebiasaan kita. Kebiasaan kita dibentuk melalui tindakan berulang-ulang yang berasal dari motivasi dan nilai yang ada di dalam diri sejak lama (Bujang Saifar:2021). Namun terkadang nilai-nilai ini tergerus oleh tekanan lingkungan, lemahnya aturan, serta sanksi dan etika situasi yang ada. Ketika seseorang masuk ke lingkungan baru dengan nilai baik, lama-kelamaan nilai yang dimilikinya menjadi pudar hanya karena lingkungan terbiasa melakukan hal tersebut dan seolah-olah dilegitimasi oleh keadaan. Bahkan tidak jarang seorang pegawai baru yang jujur lalu masuk ke lingkungan yang “kotor”, akhirnya nilai yang sudah dibangunnya selama ini menjadi porak-poranda hanya karena lingkungan yang “mengizinkan” sesuatu yang salah seperti dokumen palsu, kwitansi palsu, mark up pembelian, hingga “olah-olah stempel”. Tidak heran, Albert Einstein pernah mengatakan, “Berusahalah untuk tidak menjadi orang sukses, tetapi lebih kepada menjadi orang bernilai.”
Karakter adalah fondasi kehidupan manusia untuk mengembangkan karier dan hubungan antar manusia. Karakter baik akan mendatangkan kebaikan dan hubungan yang baik dengan banyak orang. Karakter yang tidak jujur akan membuat seseorang hidup dalam “dua alam” yang berbeda dan selalu menutupi satu dengan yang lainnya. Jack Welch (2005) menuturkan bahwa keungguan dan persaingan itu seluruhnya sebanding dengan kejujuran dan integritas.
Pertimbuhan fisik dan pertambahan usia serta perkembangan mental, seyogianya juga sejalan dengan perkembangan karakter yang baik. Ketika gajah mati meninggalkan gading dan harimau mati meinggalkan belangnya, maka manusia mati akan meninggalkan karakter yang sudah dibangun bersama dengan orang yang dikenalnya. Karakter akan menjadi monumen bagi lingkungan kita berada. Karakter yang baik akan terukir indah dengan tinta emas di dinidng monumen kantor dimana dia berkarya, sebaliknya karakter yang buruk akan terukir dalam coretan buram di dinding penjara sebagai buah dari perbuatan masa lalunya.